LBH, Kontras, LBH Pers Kecam Pemukulan Reporter Tempo TV

TEMPO Interaktif, Jakarta – Tiga lembaga swadaya masyarakat, LBH Jakarta, LBH Pers, dan Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam aksi pemukulan terhadap reporter Tempo TV, Syarifah Nur Aida. Menurut tiga lembaga itu, kekerasan itu merupakan bentuk pembungkaman pers agar tak memberitakan kebenaran untuk masyarakat. “Kami minta kasus diusut tuntas,” kata Ketua Divisi Advokasi Kontras, Sinungkarto, Jumat, 29 Juli 2011.

Syarifah Nur Aida, Kamis, 28 Juli 2011 kemarin, sedang menelusuri praktek penambangan pasir ilegal di kawasan Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sekitar 1.000 hektare lahan milik warga Desa Sukamulya itu diklaim milik TNI Angkatan Udara. Lokasi penambangan pasir masuk wilayah yang diklaim tentara.

Pemukulan diduga dilakukan oknum tentara yang mencoba menutup-nutupi upaya peliputan soal klaim tanah warga oleh TNI AU itu. Di Desa Sukamulya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria 1960, TNI AU hanya memiliki lahan seluas 36,6 hektare. Namun, mereka mengklaim memiliki 1.000 hektare lahan yang digarap warga.

Secara sepihak, tentara melakukan banyak aktivitas kemiliteran di kawasan itu. Bahkan, dengan dalih membuat water training, tentara juga menjadikan lahan itu menjadi area pertambangan pasir tak berizin. Tahun 2007 lalu, warga sempat berdemonstrasi yang berujung pada bentrok dan menimbulkan korban penembakan dan kekerasan di kalangan warga.

Reporter Tempo TV, yang akan menelusuri kasus itu, tak luput menjadi korban aksi kekerasan. Belum sempat menyelesaikan pengambilan gambar, Syarifah tersungkur pingsan karena dipukul orang tak dikenal. “Ini ancaman kebebasan pers,” kata Sinung.

Dedi Ahmad, Koordinator Divisi Litigasi LBH Pers, mengatakan aksi kekerasan itu melanggar Pasal 18 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang kebebasan pers. Ancaman pidananya, penjara 2 tahun dan denda Rp 500 juta. Aksi juga melanggar Pasal 4 dan 3 tentang fungsi pers sebagai penyebar informasi dan pemantau demokrasi. “Kami akan laporkan kasus itu ke polisi dan Dewan Pers,” kata Dedi.

Menurut dia, kekerasan itu melanggar Undang-Undang Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar. Tapi, dengan munculnya kasus itu, sama dengan membungkam kebebasan pers. “Tragis sekali, zaman seperti ini masih ada tindak kekerasan,” kata Dedi.

Febi Yonesta, Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Hukum LBH Jakarta, juga mendesak POM AURI mengusut tuntas kasus itu. Meskipun ia ragu POM bakal merespons tuntutan, mengingat beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan tentara selama ini tak tuntas. Kasus itu patut diketahui polisi militer.

Febi minta media tak takut memberitakan praktek-praktek bisnis ilegal tentara. Febi menduga jika orang yang memukul kru Tempo TV itu adalah tentara yang ingin melindungi bisnis penambangan pasir ilegal. Ada catatan, sengketa lahan warga Sukamulya dan penambangan pasir ilegal di sana sempat masuk ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

DPR sempat mengeluarkan rekomendasi agar bisnis penambangan ilegal yang diduga dilakukan tentara itu dilarang. Namun, ternyata rekomendasi diabaikan dengan dalih bisnis sudah dihentikan dan tentara hanya membuka water training sebagai tempat latihan saja. “Tapi aneh, water training kok lokasinya pindah-pindah,” kata Febi.

Mahfudz, reporter Tempo TV yang turut dalam peliputan bersama korban, mengatakan prosedur peliputan sudah dilakukan. Di lokasi, dia dan beberapa kru lain hanya ingin meminta konfirmasi kepada warga. “Apalagi Bupati Bogor juga mengatakan bisnis penambangan pasir itu ilegal, tapi Pemerintah Daerah Bogor tak berani menertibkan karena ada backing dari institusi lain,” kata Mahfudz.