Kekerasan Di Aceh Ancaman Janji Damai dan Demokratisasi

Kekerasan Di Aceh Ancaman Janji Damai dan Demokratisasi

Menjelang peringatan enam tahun pasca-Perjanjian Damai Helsinki 15 Agustus 2011 dan ditengah perdebatan soal "Siapa Calon Gubernur di Aceh, dari Parpol atau Independen?" Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) amat menyayangkan masih maraknya praktik kekerasan di sana. Praktik kekerasan yang terjadi terakhir menimpa pada mantan kombatan, bekas Panglima GAM wilayah Batee Iliek, Saiful Cage pada Jumat malam, 22 Juli 2011, di Bireun Aceh. Ia tewas seketika. Aparat keamanan masih belum dapat mengidentifikasi pelaku penembakan. Melihat lebih jauh pola-pola praktik kekerasan di Aceh, Kondisi ini tentu saja menimbulkan kecemasan dan sekaligus meningkatkan pesimisme warga Aceh pada kembalinya kekerasan di Aceh, kegagalan perdamaian dan molornya Pemilukada (Gubernur). 

Setidaknya dalam catatan KontraS, selama 6 tahun terakhir ini telah terjadi beberapa praktik kekerasan dominan di Aceh, seperti penembakan, pembunuhan dan pengeboman. Sejak tahun 2005 fluktuasi tingkat kekerasan di Aceh terjadi naik dan turun. Angka kekerasan meningkat drastis di tahun 2009. Dari catatan KontraS selanjutnya, setidaknya terdapat 25 kasus kekerasan, di antaranya pemboman, pembakaran, pengerusakan atribut partai, intimidasi, penyiksaan, penembakan dan pembunuhan. Setidaknya tercatat 7 orang korban penembakan dan 25 orang korban pembunuhan. angka kekerasan tersebut diatas sedikit banyaknya terkait dengan momentum peristiwa politik lokal dalam agenda Pemilukada Aceh. Dari sisi pelaku, melibatkan banyak pelaku yang didefinisikan sebagai Orang Tak Dikenal (OTK).

Angka kekerasan masih berada pada kisaran jumlah yang tidak jauh berubah di tahun 2010. Masih terdapat 16 orang korban penembakan dan 2 orang korban pembunuhan di Aceh.  
Kami melihat apa yang terjadi di Aceh tak beda jauh dengan situasi yang terjadi di Poso pasca-Perjanjian Malino. kekerasan berubah menjadi ‘tertutup’, seperti penembakan misterius, pengeboman dan korbannya tidak random (ditargetkan). Sampai saat ini, meskipun kekerasan mereda di Poso, namun hak-hak masyarakat korban konflik masih belum tunai tuntas terpenuhi. Nampaknya situasi ini yang juga akan terjadi di Aceh. 

KontraS memandang bahwa perluasan kekerasan di Aceh, terutama atas nama politik lokal (Pemilukada), hanya mempersulit pencapaian agenda perdamaian dan keadilan pasca perjanjian damai dan UUPA. Agenda-agenda yang tertunda adalah Pertama, mandeknya proses Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh sebagaimana yang dimandatkan dalam UUPA. Kedua, belum direalisasikannya pembentukan Pengadilan HAM di Aceh sebagaimana yang dimandatkan dalam UUPA. Ketiga, korban konflik tidak dijadikan fokus utama dari mandat implementasi program reparasi dalam Perjanjian Damai Helsinki. Keempat, masih maraknya peredaran senjata api ilegal.

Terkait dengan situasi ini KontraS merekomendasikan sejumlah hal: Pertama, dalam soal debat-sengketa Pemilukada, Pemerintah nasional untuk memfasilitasi proses dialog antara DPR Aceh dan parpol-parpol di Aceh yang menolak calon Independen dengan Komite Independen Pemilihan (KIP) yang membolehkan calon Independen untuk maju dalam pemilihan Gubernur Aceh 2011-2016.  

Kedua, mendorong agar Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Nangroe Aceh Darussalam, beserta jajaran aparat keamanan di tingkat lokal melakukan evaluasi kondisi keamanan dalam menanggapi maraknya praktik kekerasan. Hal ini mutlak dilakukan, mengingat potensi kekerasan menjelang atau disaat perdebatan Pemilukada 2011 bisa terjadi sewaktu-waktu. Evaluasi ini juga penting dilakukan untuk meredam lahirnya kelompok-kelompok kekerasan yang mampu memicu konflik baru.

Ketiga, KontraS tetap mendorong pemenuhan agenda Keadilan bagi masyarakat korban di Aceh yang berupa pembentukan KKR di Aceh yang sejalan dengan komitmen DPRA sebagaimana yang tercantum pada UUPA,  tanpa menunggu disahkannya UU KKR Nasional. KontraS juga mendorong dihadirkannya program reparasi lokal berbasis korban dan bentuk pelanggaran HAM yang terjadi. Program ini harus dipisahkan dari program reintegrasi yang selama ini lebih mengemuka. Program ini juga harus dapat mengidentifikasi dan memverifikasi korban-korban pelanggaran HAM sesuai dengan kebutuhan utama mereka.

 

Jakarta, 31 Juli 2011
Eksekutif Nasional KontraS

Haris Azhar
Koordinator