Kontras Cermati Aksi Kekerasan di Aceh

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) meminta pemerintah pusat segera turun tangan menangani maraknya aksi kekerasan menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Aceh.

Menurut Kordinator Badan Pekerja Kontras, Haris Azhar, selang lima tahun sejak perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melalui perjanjian Helsinski, setidaknya di tahun 2009 terdapat 25 kasus kekerasan. Di antaranya pemboman, pembakaran, pengerusakan atribut partai, intimidasi, penyiksaan, penembakan dan pembunuhan.

“Setidaknya tercatat tujuh orang korban penembakan dan 25 orang korban pembunuhan. Angka kekerasan tersebut terkait dengan momentum peristiwa politik lokal dalam agenda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh. Dari sisi pelaku, melibatkan banyak pelaku yang didefinisikan sebagai Orang Tak Dikenal (OTK),” tutur Haris melalui siaran pers yang diterima Tribunnews.com, Minggu (31/7/2011).

Sementara di tahun 2010, menurutnya angka kekerasan masih berada pada kisaran jumlah yang tidak jauh berubah di tahun 2010. Masih terdapat 16 orang korban penembakan dan 2 orang korban pembunuhan di Aceh. Bahkan, kejadian terakhir menimpa pada mantan kombatan, bekas Panglima GAM wilayah Batee Iliek, Saiful Cage pada Jumat malam, 22 Juli 2011, di Bireun Aceh.

Dengan meluasnya angka kekerasan di Aceh terutama atas nama politik lokal (Pemilukada), KontraS memandang hal itu akan mempersulit pencapaian agenda perdamaian dan keadilan paska perjanjian damai dan UUPA.

“Agenda-agenda yang tertunda adalah pertama, mandeknya proses Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh sebagaimana yang dimandatkan dalam UUPA,” ungkapnya seraya menyebut hingga kini belum direalisasikannya pembentukan Pengadilan HAM di Aceh sebagaimana yang dimandatkan dalam UUPA.

“Ketiga, korban konflik tidak dijadikan fokus utama dari mandat implementasi program reparasi dalam Perjanjian Damai Helsinki. Keempat, masih maraknya peredaran senjata api ilegal,” paparnya.

Untuk itu Kontras meminta Pemerintah Pusat segera memfasilitasi dialog diantara DPR Aceh dan parpol-parpol di Aceh yang menolak calon Independen dengan Komite Independen Pemilihan (KIP) yang membolehkan calon Independen untuk maju dalam pemilihan Gubernur Aceh 2011-2016.

Kontras juga meminta agar pemerintah pusat mendorong Pemerintah Daerah Nangroe Aceh Darussalam, beserta jajaran aparat keamanan di tingkat lokal melakukan evaluasi kondisi keamanan dalam menanggapi maraknya praktik kekerasan.

“Hal ini mutlak dilakukan, mengingat potensi kekerasan menjelang atau di saat perdebatan Pilkada 2011 bisa terjadi sewaktu-waktu. Evaluasi ini juga penting dilakukan untuk meredam lahirnya kelompok-kelompok kekerasan yang mampu memicu konflik baru.
memfasilitasi proses dialog diantara DPR Aceh, Parpol-parpol di Aceh yang mampu memicu konflik baru,” katanya.

Terakhir Kontras tetap mendorong pemenuhan agenda Keadilan bagi masyarakat korban di Aceh yang berupa pembentukan KKR di Aceh yang sejalan dengan komitmen DPRA sebagaimana yang tercantum pada UUPA,  tanpa menunggu disahkannya UU KKR Nasional.

“Kontras juga mendorong dihadirkannya program reparasi lokal berbasis korban dan bentuk pelanggaran HAM yang terjadi. Program ini harus dipisahkan dari program reintegrasi yang selama ini lebih mengemuka. Program ini juga harus dapat mengidentifikasi dan memverifikasi korban-korban pelanggaran HAM sesuai dengan kebutuhan utama mereka,” imbuhnya.

Kontras Cermati Aksi Kekerasan di Aceh

TRIBUNMANADO.CO.ID JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) meminta pemerintah pusat segera turun tangan menangani maraknya aksi kekerasan menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Aceh.

Menurut Kordinator Badan Pekerja Kontras, Haris Azhar, selang lima tahun sejak perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melalui perjanjian Helsinski, setidaknya di tahun 2009 terdapat 25 kasus kekerasan. Di antaranya pemboman, pembakaran, pengerusakan atribut partai, intimidasi, penyiksaan, penembakan dan pembunuhan.

“Setidaknya tercatat tujuh orang korban penembakan dan 25 orang korban pembunuhan. Angka kekerasan tersebut terkait dengan momentum peristiwa politik lokal dalam agenda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh. Dari sisi pelaku, melibatkan banyak pelaku yang didefinisikan sebagai Orang Tak Dikenal (OTK),” tutur Haris melalui siaran pers yang diterima Tribunnews.com, Minggu (31/7/2011).

Sementara di tahun 2010, menurutnya angka kekerasan masih berada pada kisaran jumlah yang tidak jauh berubah di tahun 2010. Masih terdapat 16 orang korban penembakan dan 2 orang korban pembunuhan di Aceh. Bahkan, kejadian terakhir menimpa pada mantan kombatan, bekas Panglima GAM wilayah Batee Iliek, Saiful Cage pada Jumat malam, 22 Juli 2011, di Bireun Aceh.

Dengan meluasnya angka kekerasan di Aceh terutama atas nama politik lokal (Pemilukada), KontraS memandang hal itu akan mempersulit pencapaian agenda perdamaian dan keadilan paska perjanjian damai dan UUPA.

“Agenda-agenda yang tertunda adalah pertama, mandeknya proses Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh sebagaimana yang dimandatkan dalam UUPA,” ungkapnya seraya menyebut hingga kini belum direalisasikannya pembentukan Pengadilan HAM di Aceh sebagaimana yang dimandatkan dalam UUPA.

“Ketiga, korban konflik tidak dijadikan fokus utama dari mandat implementasi program reparasi dalam Perjanjian Damai Helsinki. Keempat, masih maraknya peredaran senjata api ilegal,” paparnya.

Untuk itu Kontras meminta Pemerintah Pusat segera memfasilitasi dialog diantara DPR Aceh dan parpol-parpol di Aceh yang menolak calon Independen dengan Komite Independen Pemilihan (KIP) yang membolehkan calon Independen untuk maju dalam pemilihan Gubernur Aceh 2011-2016.

Kontras juga meminta agar pemerintah pusat mendorong Pemerintah Daerah Nangroe Aceh Darussalam, beserta jajaran aparat keamanan di tingkat lokal melakukan evaluasi kondisi keamanan dalam menanggapi maraknya praktik kekerasan.

“Hal ini mutlak dilakukan, mengingat potensi kekerasan menjelang atau di saat perdebatan Pilkada 2011 bisa terjadi sewaktu-waktu. Evaluasi ini juga penting dilakukan untuk meredam lahirnya kelompok-kelompok kekerasan yang mampu memicu konflik baru.
memfasilitasi proses dialog diantara DPR Aceh, Parpol-parpol di Aceh yang mampu memicu konflik baru,” katanya.

Terakhir Kontras tetap mendorong pemenuhan agenda Keadilan bagi masyarakat korban di Aceh yang berupa pembentukan KKR di Aceh yang sejalan dengan komitmen DPRA sebagaimana yang tercantum pada UUPA,  tanpa menunggu disahkannya UU KKR Nasional.

“Kontras juga mendorong dihadirkannya program reparasi lokal berbasis korban dan bentuk pelanggaran HAM yang terjadi. Program ini harus dipisahkan dari program reintegrasi yang selama ini lebih mengemuka. Program ini juga harus dapat mengidentifikasi dan memverifikasi korban-korban pelanggaran HAM sesuai dengan kebutuhan utama mereka,” imbuhnya.