Kontras Temukan Indikasi Kekerasan Terkait Pemilu Kada Aceh

JAKARTA–MICOM: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menengarai adanya pola-pola kekerasan di Aceh yang terkait dengan momentum politik lokal, yaitu agenda Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) Aceh.

“Angka kekerasan tersebut di atas sedikit banyaknya terkait dengan momentum peristiwa politik lokal dalam agenda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh. Dari sisi pelaku, melibatkan banyak pelaku yang didefinisikan sebagai Orang Tak Dikenal (OTK),” kata Koordinator Kontras Haris Azhar, Jakarta, Minggu (31/7).

Setidaknya dalam catatan KontraS, selama 6 tahun terakhir ini telah terjadi beberapa praktik kekerasan dominan di Aceh, seperti penembakan, pembunuhan, dan pengeboman. Sejak 2005 fluktuasi tingkat kekerasan di Aceh terjadi naik dan turun.

Angka kekerasan meningkat drastis pada 2009. Dari catatan KontraS setidaknya terdapat 25 kasus kekerasan, di antaranya pemboman, pembakaran, perusakan atribut partai, intimidasi, penyiksaan, penembakan dan pembunuhan.

Setidaknya, tercatat 7 orang korban penembakan dan 25 orang korban pembunuhan.

Praktik kekerasan yang terjadi terakhir menimpa pada mantan kombatan, bekas Panglima GAM wilayah Batee Iliek Saiful Cage pada Jumat (22/7) malam, di Bireun Aceh. Ia tewas seketika.

Menurut Haris, perluasan kekerasan di Aceh, terutama atas nama politik lokal (pemilu kada), hanya mempersulit pencapaian agenda perdamaian dan keadilan pascaperjanjian damai dan UUPA (UU Pemerintahan Aceh).

“Kami melihat apa yang terjadi di Aceh tak beda dengan situasi yang terjadi di Poso pasca-Perjanjian Malino. kekerasan berubah menjadi ‘tertutup’, kekerasan yang terjadi berupa penembakan misterius, pengeboman, dan korbannya tidak random (sudah ditargetkan),” ujar Haris.

Menurut Haris, hal ini terjadi karena mandeknya beberapa agenda di Aceh seperti mandeknya proses Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh sebagaimana yang dimandatkan dalam UUPA.

“Kedua, belum direalisasikannya pembentukan Pengadilan HAM di Aceh sebagaimana yang dimandatkan dalam UUPA,” lanjut Haris.

Ketiga, korban konflik tidak dijadikan fokus utama dari mandat implementasi program reparasi dalam Perjanjian Damai Helsinki. Dan yang terakhir adalah masih maraknya peredaran senjata api ilegal. (*/OL-10)