Penundaan Pilgub Aceh Bisa Meningkatkan Angka Kekerasan

TEMPO Interaktif, Jakarta – Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencemaskan peningkatan potensi kekerasan akibat penundaan pemilihan gubernur di Nangroe Aceh Darussalam. Praktek kekerasan yang terjadi di antaranya menimpa bekas Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Batee Iliek, Saiful Cage, pada Jumat malam, 22 Juli 2011, di Bireuen Aceh. “Kekerasan menimpa para mantan kombatan,” kata Eksekutif Nasional KontraS Haris Azhar dalam keterangan pers, Ahad, 31 Juli 2011.

Jatuhnya korban tewas menimbulkan kecemasan sekaligus meningkatkan pesimisme warga Aceh pada kembalinya kekerasan di Aceh. “Bisa memicu kegagalan perdamaian dan molornya pemilihan gubernur,” kata Haris.

Menurut dia, saat ini elite politik Aceh terbelah 2. Gubernur incumbent Irwandy Yusuf berseteru dengan pendukungnya, Partai Rakyat Aceh, soal calon independen. Meski Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan calon independen boleh ikut mencalonkan, koalisi yang dipimpin Partai Rakyat Aceh berusaha menjegal Irwandy dengan membentuk qanun yang melarang calon independen. “Irwandy tak mau meneken qanun itu, sehingga perdebatan calon independen memanas,” kata Haris. “Padahal Oktober 2011 seharusnya Aceh memasuki pemilihan gubernur 2011-2016.”

Jatuhnya korban, menurut Haris, bisa dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin bermain api di Aceh. Berdasarkan catatan KontraS, selama 6 tahun terakhir telah terjadi aksi kekerasan dominan di Aceh. Sejak 2005 fluktuasi kekerasan di Aceh naik-turun. Pada 2009 angka kekerasan meningkat drastis, setidaknya terdapat 25 kasus kekerasan, di antaranya pemboman, pembakaran, perusakan atribut partai, intimidasi, penyiksaan, penembakan, dan pembunuhan.

Kekerasan itu menelan 7 orang korban penembakan dan 25 orang korban pembunuhan. “Angka kekerasan terkait dengan momentum peristiwa politik lokal dalam agenda pemilu kepala daerah di Aceh,” kata Haris. “Pelaku yang terlibat didefinisikan sebagai orang tak dikenal (OTK).”

Pada 2010, angka kekerasan tak berubah. KontraS mencatat 16 orang korban penembakan dan 2 orang korban pembunuhan di Aceh. “Apa yang terjadi di Aceh tak beda jauh dengan situasi di Poso pasca-Perjanjian Malino,” ujar Haris. Kekerasan bersifat tertutup tanpa jelas pelakunya dan bersifat masif.

“KontraS menilai perluasan kekerasan di Aceh, terutama atas nama politik lokal (pemilu daerah), hanya mempersulit pencapaian agenda perdamaian dan keadilan setelah perjanjian damai,” kata Haris lagi.