Pembentukan Papua Tengah Bukan Solusi

JAKARTA, KOMPAS.com – Koordinator Kontras Haris Azhar menilai pembentukan Provinsi Papua Tengah tak menyelesaikan masalah yang terjadi di Bumi Cenderawasih. Persoalan di tanah Papua tak melulu soal ekonomi, tetapi terkait ketidakadilan, ketidaksejahteraan, identitas, serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan daerah. Terbukti, otonomi khusus yang terjadi Papua malah meningkatkan dugaan tindak pidana korupsi.

"Pembentukan propinsi baru itu tidak menjawab persoalan mendasar. Persoalan mendasar harus dijawab dengan penegakan hukum. Pelanggaran HAM harus dibawa ke pengadilan. Kekerasan hak asasi manusia harus segera direspon. Apa yang terjadi di Papua, jumlah sekolah tidak bertambah banyak, tapi angka korupsi yang meningkat," kata Haris dalam jumpa pers di Kantor Kontras, Jakarta, Minggu (7/8/2011).

Kontras menilai, pendekatan ekonomi dalam membangun Papua tak cukup. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus memerhatikan konteks politik dan hukum. Hal ini, sambung Haris, perlu mendapatkan prioritas dari pemerintah. Pemekaran wilayah tidak menjadi keinginan kolektif masyarakat Papua.

Buktinya, beberapa konflik dilatarbelakangi oleh protes masyarakat Papua terhadap kebijakan Jakarta yang lebih mengedepankan kebijakan ekonomi, pembangunan ekonomi, tanpa melihat persoalan secara komprehensif.

Sedikitnya 50 anggota tim 502 pemekaran Provinsi Papua Tengah diagendakan untuk bertemu dengan Presiden dan pejabat lembaga tinggi negara di Jakarta pada Senin (8/8/2011) esok. Ketua rombongan tim 502 percepatan Provinsi Papua Tengah Luther Rumpadus mengakui rencana pertemuan rombongan tim 502 dengan Presiden telah diagendakan melalui protokoler pihak sekretariat negara.

"Inti pertemuan tim 502 dengan pejabat tinggi negara dan Presiden SBY ingin meminta percepatan keberadaan Provinsi Papua Tengah dengan ibu kota di Biak serta menetapkan Laksma TNI (Purn) Dicik Henks Wabiser sebagai pejabat Gubernur Papua Tengah," ungkap Rumpaidus, Minggu.

Ia mengatakan, setelah bertemu Presiden, timnya akan mengunjungi beberapa stasiun televisi swasta pada hari Selasa untuk melakukan wawancara terkait keberadaan Provinsi Papua Tengah yang telah ada melalui penetapan UU No 45 tahun 1999. Kabupaten Biak Numfor layak dijadikan sebagai ibu kota provinsi, lanjut Luther Rumpaidus, karena letak wilayahnya sangat strategis secara geografis dan pertahanan keamanan karena memiliki fasilitas bandara bertaraf internasional yang landasannya sepanjang 3.700 meter.

Luther Rumpaidus berharap, realisasi percepatan Provinsi Papua Tengah diharapkan segera terjawab dalam waktu dekat karena dengan pemekaran wilayah di tanah Papua mampu mempercepat laju pembangunan guna meningkatkan taraf hidup kesejahteraan masyarakat.

"Lewat pemekaran Provinsi Papua Tengah diharapkan rakyat bisa lebih cepat menikmati kesejahteraan pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi serta dapat membuka akses kesempatan kerja lebih luas kepada penduduk di 14 kabupaten wilayah Provinsi Papua Tengah," harap Luther Rumpaidus.

Dia mengimbau, berbagai elemen masyarakat di Papua Tengah untuk mendukung serta mendoakan tim 502 yang saat ini berada di Jakarta untuk menemui pejabat tinggi negara diantaranya Presiden,DPR, Mendagri untuk menuntaskan percepatan realisasi pemekaran Provinsi Papua Tengah.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, pemerintah akan terus menghentikan pemekaran daerah sampai ada revisi Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Kendati demikian, usulan perubahan aturan tersebut belum juga disampaikan ke DPR. Usulan pembentukan daerah baru sampai Januari 2011, menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, sudah lebih dari 181.

"Kami harap DPR setuju moratorium (pemekaran daerah baru) sampai revisi UU No 32/2004 selesai dan ada cantolan hukum untuk grand design tata kelola daerah yang sudah kita sepakati," tutur Gamawan.

Dalam desain besar tata kelola daerah itu, tiga persyaratan umum untuk daerah otonomi baru terkait dengan jumlah penduduk, geografis, dan teknis administrasi. Ketiga hal ini juga dirinci dalam syarat lain, seperti keuangan, kelayakan, dan potensi daerah. Saat ini moratorium pemekaran daerah diperlukan supaya ada tata kelola daerah yang baik. Daerah baru diharapkan tidak langsung menjadi daerah otonom setelah dimekarkan, tetapi menjadi daerah persiapan terlebih dulu.

"Dari evaluasi kami, sekitar 80 persen daerah yang dimekarkan dan langsung otonomi tetap tidak siap setelah tiga tahun," ujar Gamawan.

Di sisi lain desakan masyarakat daerah untuk memekarkan daerahnya tetap tinggi. Menurut anggota Komisi II DPR, Arif Wibowo, sejak awal periode tugasnya, DPR sekarang sudah menerima 98 usul pembentukan daerah baru. DPR mengakomodasi aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, untuk usulan daerah otonomi yang layak secara administrasi, tindak lanjut tetap dilakukan. Observasi lapangan seperti untuk 17 daerah yang layak secara administrasi dari 33 usulan daerah otonomi yang sudah diverifikasi DPR tetap dilakukan.