Situasi Papua, Ujian Mentalitas Demokratik Pemerintah Dalam Penyelesaian Konflik Papua

Situasi Papua, Ujian Mentalitas Demokratik Pemerintah Dalam Penyelesaian Konflik Papua

KontraS mencatat sepanjang bulan Juli hingga awal bulan Agustus 2011, setidaknya terjadi 8 peristiwa kekerasan dan penembakan di Papua. Kasus-kasus tersebut di antaranya; penembakan terhadap tiga anggota TNI Yonif 751/BS ( 5/7), penembakan terhadap warga sipil akibat kontak senjata antara TNI AD Yonif 753/AVT dengan kelompok bersenjata (12/7), kontak senjata antara anggota TNI dan kelompok Goliat Tabuni (13/7),  penembakan di Puncak Jaya (12/7), bentrok di Distrik Ilaga (Sabtu-Minggu, 30-31/7), warga tewas dalam kerusuhan di Timika (30/7), penembakan dan pembacokan warga sipil di Nafri Abepura (1/8) dan penembakan helikopter M-17 milik TNI (3/8).

Akibat peristiwa tersebut, setidaknya 15 masyarakat sipil menjadi korban dalam kasus penembakan, 17 warga sipil menjadi korban dalam kasus bentrokan antara kelompok Tomas Tabuni dan Simon Alom dan 9 anggota TNI menjadi korban penembakan.  Kondisi semakin buruk ketika disatu sisi respon pemerintah masih menggunakan paradigma lama yaitu keamanan dan operasi militer. Patut disayangkan bahwa beberapa pejabat tinggi di Jakarta justru melontarkan pernyataan †pernyataan parsial dengan kembali mendorong TNI untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Bahkan lebih buruk lagi, Polri telah menerjunkan DENSUS 88 ke Papua.

Situasi ini jelas semakin mengkhawatirkan bagi masa depan perdamaian di tanah Papua. Mengingat TNI dan Polri masih menduduki peringkat tertinggi pelaku tindak kekerasan dan konflik bersenjata. Akhirnya memunculkan implikasi negatif, berupa pelanggaran HAM dalam pelaksanaan operasi militer di sana. Di sisi lain, TNI dan Polri masih menggunakan paradigma lama seperti melontarkan tuduhan-tuduhan kepada kelompok sipil bersenjata di Papua, tanpa diimbangi dengan tindakan hukum berupa penyidikan yang memadai. Kondisi ini setidaknya menjadi bukti keberadaan Polri di satu sisi tidak maksimal dalam memberikan jaminan dan perlindungan keamanan bagi warga Papua. Sementara di sisi lain, kehadiran dan keterlibatan TNI dalam operasi keamanan justru meningkatkan ketegangan dan konflik bersenjata, mengakibatkan jatuh korban dari pihak TNI dan warga sipil.

Kami memandang situasi ini merupakan bukti ketidakberdayaan pemerintah untuk memperbaiki situasi di Papua, bahkan lebih dari itu, pemerintah tidak menunjukkan komitmen serius terhadap hasil konferensi damai di Papua belum lama ini. Situasi ini semakin menguatkan kesan bahwa tidak ada perhatian dari pemerintah terhadap inisiatif dialog dari bawah yang dirintis oleh Jaringan Damai Papua (JDP) dan segenap masyarakat sipil lainnya.

Berdasarkan kondisi tersebut, kami tegaskan bahwa pemerintah adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas situasi ini, pemerintah tidak bisa sekedar mengerahkan TNI dan Polri untuk memulihkan situasi. Harus ada evaluasi dan kontrol yang akuntabel, mengingat sampai saat ini kita belum memiliki UU perbantuan militer sehingga tidak ada alat ukur yang jelas atas keterlibatan TNI. Sebaliknya, UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, dengan tegas menyatakan bahwa pengerahan TNI harus sepengetahuan Presiden RI.

Selebihnya, kami berharap Presiden RI dapat segera mengambil langkah strategis untuk mengkoordinasikan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Menteri Pertahanan (Menhan), Panglima TNI dan Kapolri, agar memiliki visi yang sama dalam memandang dan mengambil kebijakan untuk Papua yang berorientiasi pada pendekatan persuasif, penurunan angka kekerasan dan mulai memperkokoh komitmen untuk pelaksanaan dialog antara Papua dan Jakarta. Tindakan ini sebaiknya diimabngi dengan efektifitas evaluasi keberadaan dan peran institusi-institusi yang memiliki tanggungjawab vertikal seperti TNI dan Polri. Evaluasi harus dilakukan secara akuntabel dan transparan, dengan tetap memperhatikan masukan publik dan institusi terkait, seperti Komnas HAM dan Komda HAM Papua, yang selama ini aktif melakukan pemantauan perkembangan situasi di Papua.

Sebaliknya, segala bentuk komentar dan opini yang kontraproduktif dengan upaya damai di Papua, khususnya dari pejabat di Jakarta harus diminimalisir, tidak perlu semua pejabat dari beragam institusi negara turut berbicara. Secara umum, kami meminta semua pihak untuk menahan diri dari pernyataan dan operasi keamanan yang berpotensi memperburuk kondisi masyarakat sipil di Papua.

KontraS mengucapkan bela sungkawa yang sedalam †dalamnya atas gugurnya prajurit TNI dan Polri yang sedang bertugas. Pemerintah harus bertanggungjawab terhadap semua korban baik dari kalangan masyarakat sipil maupun TNI dan Polri.

Jakarta, 9 Agustus 2011

Badan Pekerja KontraS

 

Haris Azhar
Koordinator

Lampiran : infografis Papua (unduh)