KONTRAS: Pemerintah Tak Serius Tuntaskan Konflik Papua

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak memiliki agenda yang jelas dalam menuntaskan konflik di Papua.

Berbagai konflik yang terjadi di Papua selama bulan Juli-Agustus 2011 merupakan bukti ketidakberdayaan pemerintah untuk memperbaiki situasi di Papua.

Situasi ini juga menguatkan kesan bahwa tidak ada perhatian pemerintah terhadap inisiatif dialog yang telah dirintis oleh Jaringan Damai Papua (JDP) dan kelompok masyarakat sipil lainnya.

Sepanjang bulan Agustus ini, setidaknya ada 8 peristiwa kekerasan dan penembakan di Bumi Cenderawasih tersebut. Ke-8 peristiwa kekerasan tersebut adalah penembakan tiga anggota TNI Yonif 751/BS pada 5 Juli 2011 di Kampong Distrik, Tingginambut, Puncak Jaya.

Penembakan terhadap warga sipil akibat kontak senjata antara TNI AD Yonif 753/AVT dengan kelompok bersenjata pada 12 Juli 2011 di Kampong Kalome, Tingginambut, Puncak Jaya. Kontak senjata antara anggota TNI dan kelompok Goliat Tabuni pada 13 Juli 2011 di Mulia, Puncak Jaya, penembakan terhadap anggota TNI Yonif 751/BS saat sedang patroli di Kampong Yambi, Mulia, Puncak Jaya. Akibatnya satu orang anggota TNI tewas.

Ada juga bentrokan antarpendukung bakal calon bupati dari Gerindra di Ilaga, Puncak, pada 30-31 Juli 2011. Pada bentrokan ini, 19 orang tewas. Pada tanggal 30 Juli 2011, kerusuhan terjadi di Kampung Nawaripi, Timika, Mimika. Satu orang tewas pada kerusuhan ini.

Lalu, pada 1 Agustus, empat orang tewas dalam penembakan yang terjadi di Kampung Nafri, Abepura. Selang dua hari kemudian, pada 3 Agustus 2011, kelompok bersenjata menembak pesawat helikopter MI-17 milik Kodam XVII/Cendrawasih di sekitar Puncak Senyum, Kabupaten Puncak Jaya. Akibatnya satu orang tewas.

Secara keseluruhan, 25 orang tewas, dan belasan lainnya menderita luka-luka. Mode kekerasan yang terjadi di Papua belakangan ini merupakan kombinasi tindak kekerasan yang terjadi di wilayah konflik di Aceh, seperti penghadangan dan penembakan misterius di Poso.

"Atas hal ini, kami tegaskan bahwa pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas situasi ini. Pemerintah tidak bisa sekadar mengerahkan TNI dan Polri untuk memulihkan situasi. Harus ada evaluasi dan kontrol yang akuntabel, mengingat sampai saat ini kita belum memiliki undang-undang perbantuan militer sehingga tidak ada alat ukur yang jelas atas keterlibatan TNI. Sebaliknya, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dengan tegas menyatakan bahwa pengerahan TNI harus sepengetahuan Presiden RI," kata Haris.

Kontras berharap Presiden dapat mengambil langkah strategis untuk melakukan koordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, dan Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo.

Kontras berharap mereka memiliki visi yang sama dalam memandang dan mengambil kebijakan untuk Papua yang berorientasi pada pendekatan persuasif, penurunan angka kekerasan, dan mulai memperkokoh komitmen untuk pelaksanaan dialog antara Papua dan Jakarta.

"Tindakan ini juga sebaiknya diimbangi dengan efektivitas evaluasi keberadaan dan peran institusi-institusi yang memiliki tanggung jawab vertikal seperti TNI dan Polri. Evaluasi harus dilakukan secara akuntabel dan transparan, dengan tetap memerhatikan masukan publik dan institusi terkait, seperti Komnas HAM dan Komda HAM Papua, yang selama ini aktif melakukan pemantauan perkembangan situasi di Papua," kata Haris.(kcm)