Peringatan 23 tahun demonstrasi rakyat 8888, pembantaian dan penangkapan massal: saatnya bagi ASEAN untuk bertindak

Peringatan 23 tahun demonstrasi rakyat 8888, pembantaian dan penangkapan massal: saatnya bagi ASEAN untuk bertindak

23 tahun telah berlalu demonstrasi rakyat Myanmar tanggal 8 Agustus 1988 menggulingkan pemerintahan Ne Win. Segera setelah itu militer secara brutal memberangus gerakan tersebut. Sekitar 10.000 orang telah dibunuh, hilang, dan ribuan lainnya ditahan hingga kini. Beberapa diantaranya mati misterius dalam penjara dan ribuan lainnya melarikan diri ke luar negeri hidup tanpa status. Sejak itulah tiada lagi kebebasan berekspresi. Oposisi dibungkam, tokohnya seperti Aung San Suu Kyi, meski memenangkan pemilu tahun 1990, ditahan di rumahnya sendiri.

Di tahun 2010, pemerintah Myanmar menggelar pemilu. Sebelumnya konstitusi tahun 2008 disahkan. Kedua tindakan ini adalah langkah kelima dan keenam dari peta perjalanan Myanmar Menuju Demokrasi dari pemerintahan junta militer. Dengan segala kecurangan, rekayasa dan upaya menyingkirkan oposisi, akhirnyaparlemen dan pemerintahan baru sipil, langkah ketujuh, terbentuk. Namun tak satupun langkah tersebut menjamin bahwa pembantaian seperti di tahun 1988 tersebut tidak akan berulang.

Konsekuensi dari pemilu rekayasa ini ternyata jauh lebih parah. Pertempuran antara tentara pemerintah dengan tentara kelompok etnik Kacin, Chan dan Karen meningkat. Ratusan ribu pengungsi hingga hari ini terdampar di sepanjang perbatasan Myanmar dengan Thailand dan China. Kekerasan berupa pembunuhan, penyiksaan, perampasan tanah, kerja paksa, p terhadap warga sipil biasa meluas.

Sepanjang 23 tahun yang penuh kekerasan itu, ASEAN bergeming dan tetap menganggap itu masalah domestik Myanmar. ASEAN menutup mata akan krisis kemanusiaan di perbatasan. Demikian pula negara-negara tetangga Myanmar. Tak terhindarkan ini terkait dengan investasi mega proyek dam hydropower di wilayah Kachin, pelabuhan laut dalamm, jalan terusan Tavoy Kanchanabury, keduanya di wilayah Karen dan eksploitasi tambang di hampir semua wilayah komunitas etnik itu.

Spiral kekerasan ini meyakinkan kita bahwa Myanmar tidak siap memimpin ASEAN. Oleh sebab itu sudah saatnya ASEAN yang hari ini juga memperingati 44 tahun berdirinya untuk menegaskan diri sebagai badan regional yang menjamin HAM, keamanan dan perdamaian. AIPMC dan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnnya menuntut ASEAN untuk tegas menolak permohonan Birma untuk menjadi ketua ASEAN 2014.

ASEAN sepatutnya mendukung dibentuknya komisi penyelidik internasional PBB untuk memperoleh laporan yang pasti tentang kekerasan yang berlangsung di Myanmar sejak pemberangusan demonstrasi rakyat tanggal 8 Agustus 1988 hingga hari ini.

Pada hari yang sama dengan peringatan terjadinya demonstrasi rakyat ini, sepatutnya ASEAN menjadikannya pelajaran dan membangun komitmen bahwa tidak ada toleransi bagi terjadinya peristiwa serupa di kemudian hari di kawasan ASEAN.

Jakarta, 8 Agustus 2011

ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus-AIPMC
Solidaritas Indonesia untuk ASEAN
KONTRAS
Aliansi Bhineka Tunggal Ika-ANBTI
Forum ASIA