Kontras Anggap SBY Masih Tebang Pilih Penegakkan Hukum

TEMPO Interaktif, Jakarta –  Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tebang pilih dalam penegakan hukum. Presiden SBY memberikan respon cepat terhadap surat tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi, Muhammad Nazaruddin padahal ribuan surat dari korban pelanggaran HAM belum dibalas.

"Hukum tentu harus ditegakkan berdasarkan alat bukti semata, tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih," kata Putri Kanesia, salah satu pengurus Kontras dalam rilis yang diterima Tempo, Senin 22 Agustus 2011. Menurutnya, prinsip dasar persamaan di hadapan hukum harus dilaksanakan.

Tindakan Presiden SBY memberikan balasan surat untuk Nazar yang dibacakan oleh ataf ahli Presiden bidang Hukum dan HAM, Denny Indrayana, kemarin, dinilai tidak tepat. Presiden SBY seharusnya tidak menjawab surat mantan Bendahara Umum Demokrat yang menyatakan dirinya siap ditahan seumur hidup tanpa proses hukum asal SBY menjamin keluarga dan anak-anaknya tidak mendapat gangguan.

Tindakan ini ironi, karena ada setumpuk surat dari korban pelanggaran HAM. Sejak 2007, korban pelanggaran HAM telah melakukan 222 kali aksi Kamisan di depan Istana Negara dan mengirimkan 192 surat kepada Presiden untuk meminta Presiden menyelesaiakan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara adil.

Pada 15 Agustus 2011, korban pelanggaran HAM telah membuat surat sebanyak 1279 kepada Presiden sebagai bentuk keputusasaan dan harapan atas terselesaikannya kasus-kasus pelanggaran HAM, khususnya di masa lalu. Ribuan surat yang dimasukkan dalam sebuah amplop raksasa tersebut dikirimkan oleh para korban pelanggaran HAM berat dari Aceh hingga Papua kepada Presiden SBY.

"Jangankan untuk membalas surat-surat tersebut, untuk menerima dan membaca surat-surat saja Presiden sama sekali tidak mau. Hingga saat inipun tidak ada respon juga tak ada langkah konkret yang dilakukan untuk menyikapi ketidakjelasan ini," kata Putri.

Balasan surat untuk Nazaruddin itu, menunjukkan Presiden SBY tebang pilih dalam melihat persoalan hukum dan penegakan HAM di Indonesia. Presiden SBY, sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat tidak bersikap objektif dan sarat akan kepentingan dalam melihat kasus korupsi Nazaruddin yang juga menyeret nama partainya.

Selain itu, Presiden SBY menunjukkan tidak ada komitmen terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia tidak pernah ada. Presiden juga tidak berpihak kepada korban pelanggaran HAM. Padahal, berdasarkan hukum, Presiden memiliki kewenangan untuk segera menerbitkan Kepres tentang Pembentukan Pengadilan HAM adhoc.

Dengan demikian, Kontras mendesak Presiden menerima secara resmi 1279 surat dari korban Pelanggaran HAM berat dari Aceh hingga Papua, mengakui secara resmi atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM sebagai bagian dari pengungkapan kebenaran dan pelurusan sejarah, mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) pembentukan pengadilan HAM ad-hoc sebagai upaya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, serta melakukan upaya-upaya dan membuat kebijakan strategis untuk pemenuhan hak bagi korban pelanggaran HAM masa lalu.

RINA WIDIASTUTI