Polisi Harus Mengutamakan Proses Hukum Pelaku Penembakan Warga Tiaka, Morowali

Polisi Harus Mengutamakan Proses Hukum Pelaku Penembakan Warga Tiaka, Morowali

Terhitung sudah 20 (dua puluh) hari sejak terjadinya peristiwa berdarah di Tiaka, Morowali yang mengakibatkan 2 (dua) orang meninggal secara mengenaskan, pihak Kepolisian belum juga menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Kepolisian justru memilih “ngotot” mempidanakan masyarakat yang menuntut hak-hak mereka terhadap PT. Medco.  

Atas peristiwa ini, sebanyak 20 warga Desa Kolo Bawah, Kec. Mamosalato, Kab. Morowali, Prov. Sulawesi Tengah ditangkap & dijadikan Tersangka oleh Polda Sulawesi Tengah, 4 (empat) orang diantaranya merupakan warga di bawah umur. Tindakan Kepolisian yang secara sewenang-wenang menetapkan Tersangka terhadap 4 orang di bawah umur telah menimbulkan stigmatisasi jahat dan menimbulkan trauma psikologis yang berat tentunya. Terhadap anak-anak tersebut, Kepolisian wajib memberikan perlakuan khusus dan menjamin pemenuhan hak-haknya sebagai anak sesuai dengan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 

Hampir semua Tersangka dijerat Pasal-pasal tentang kekerasan (perusakan) terhadap benda (Pasal 170 KUHP jo. Pasal 55 – 56 KUHP) yang ancaman hukumannya maksimal 7 tahun penjara. Selain itu ada seorang bernama Andri Muhamad Sondeng yang dianggap melakukan provokasi, penghasutan dan merampas senjata api. Andri pun dianggap sebagai aktor intelektual dalam aksi yang berlangsung pada Senin, 22 Agustus 2011.
 

Menurut Tim Advokasi Rakyat Morowali Bersatu, pihak Polda Sulawesi Tengah telah mengirim anggotanya untuk mengambil Andri Muhamad Sondeng dari RS. Stella Maris, Makassar ke Palu, padahal kondisi Andri yang saat itu mengalami luka tembak di dada kanan masih dirawat karena belum pulih. Kami meminta agar Polda Sulawesi Tengah bisa mempertimbangkan kondisi kesehatan Andri karena tentu saat ini tidak memungkinkan menjalani pemeriksaan. 

Para Penasehat Hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Rakyat Morowali Bersatu merupakan pihak yang sah mendampingi para Tersangka, namun pihak Kepolisian tidak bersikap kooperatif dengan mengabaikan posisi mereka. Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah walaupun sudah diberitahukan tetap juga menyampaikan semua informasi kepada Pensehat Hukum yang mereka tunjuk, bukan yang dipilih oleh Tersangka. Saat ini, Polisi pun mempersulit Kuasa Hukum Tersangka dalam mendapatkan salinan Berita Acara Pemeriksaan. Ini jelas merupakan pelanggaran serius terhadap hukum acara, khususnya Pasal 55, Pasal 54 dan Pasal 72 KUHAP yang menjamin kebebasan Tersangka memilih Penasehat Hukumnya, serta hak mendapatkan Berita Acara Pemeriksaan. Lebih jauh hal ini juga menjadi melanggar hak asasi manusia, khususnya bagi Tersangka sebagaimana diatur Pasal 18 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yang memberikan segala jaminan hukum bagi Tersangka dalam pembelaannya. 

Dalam proses pemeriksaan perkara, terdapat sejumlah pelanggaran HAM serius terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan sebagaimana telah diratifikasi dalam UU no 5/1998. Pelanggaran serius ini dapat dikategorikan dalam bentuk perbuatan yang sewenang-wenang, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (1) Konvensi menentang Penyiksaan. Hak asasi sebagaimana diatur dalam konvensi tersebut adalah hak yang bersifat non-derogable, artinya tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Pelanggaran serius ini terdapat dalam proses pengambilan pemeriksaan keterangan Tersangka di Kepolisian terdapat sejumlah pelanggaran hukum yang merendahkan martabat seorang manusia. Para Tersangka diperiksa pada tengah malam sekitar pukul 23.00 s.d 02.00 wita. Terhadap 4 (empat) orang anak pemeriksaannya pun tidak didampingi Pengacara, padahal anak yang tersangkut tindak pidana wajib hukumnya didampingi Pengacara minimal oleh keluarga. Selain itu berdasarkan kesaksian warga, para Tersangka mendapatkan kekerasan (diinjak-injak, dipukul di kepala, wajah dan badan), penyiksaan dan tindakan yang merendahkan martabat oleh anggota Polri. Bahkan sejak ditangkap, para Tersangka dipaksa hanya menggunakan celana dalam dan baru diberikan baju pada siang hari tanggal 24 Agustus 2011. 

Kapolda Sulawesi Tengah beberapa minggu lalu mengatakan 19 orang Polisi terperiksa telah ditahan karena melanggar disiplin, termasuk Kapolres Morowali yang mendapatkan teguran. Namun, berbeda dengan apa yang dikatakan Kapolda Sulawesi Tengah, menurut Karo Paminal Mabes Polri, Bapak Budi Wiseso bahwa hingga saat ini proses pemeriksaan terhadap anggota Polres Morowali masih dilakukan dan dari 19 orang yg diperiksa, 9 orang diantaranya perlu dilakukan pemeriksaan mendalam. Dengan kata lain, sampai saat ini belum ada putusan sidang disiplin terhadap 19 Polisi tersebut serta belum adanya dilakukan penahanan terhadap mereka.

Peristiwa kerusuhan di Tiaka, Morowali sesungguhnya merupakan titik puncak kekecewaan warga atas janji-janji yang disampaikan PT. Medco sejak 2007. PT. Medco sendiri telah melakukan penambangan minyak sejak tahun 2005, namun faktanya tak sedikitpun masyarakat sekitar mendapat manfaat atau bahkan kesejahteraan. Mereka justru mengalami ketidakadilan dan kriminalisasi ketika menuntut haknya. Seluruh pihak sebaiknya kembali melihat kronologis versi warga dan tidak terpengaruh kebohongan dari kronologis yang selama ini disampaikan pihak Kepolisian. Hal ini penting demi mencegah adanya justifikasi bagi Kepolisian melakukan penembakan dan kekerasan lainnya terhadap warga. Peristiwa ini sekali lagi menambah catatan buruk dan menunjukkan bagaimana Polisi telah kehilangan profesionalitasnya karena merespon tuntutan-tuntutan warga dengan tindakan represif dan tidak manusiawi.  

Melihat fakta-fakta di atas, kami mendesak:

1.Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk menerapkan pendekatan yang komprehensif agar dapat mengerti dengan lebih baik duduk persoalan, memerintahkan segenap jajarannya untuk menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya dan secara konsekuen melaksanaan Perkap No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi dan Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian NKRI pasal 5, dan pasal 27 tentang Tindakan Pemeriksaan;

2.Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah melakukan penyelidikan terhadap tindakan Polisi dari Polres Morowali atau Polda Sulteng yang melanggar hukum pidana umum, melakukan penyidikan dan mengajukannya ke persidangan. Selain itu, secara aktif Kapolda harus segera melakukan evaluasi internal dengan mendasarkan pada kemungkinan adanya pelanggaran terhadap Protap No 1/X/2010 tentang Penanggulan Anarki dan secara transparan mempublikasikan kepada publik;

3. Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah harus menjamin pemeriksaan yang berjalan secara profesional dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah, serta memastikan perlindungan sepenuhnya atas hak-hak Tersangka, secara khusus memberikan penundaan pemeriksaan terhadap Andri Muhamad Sondeng yang masih menjalani perawatan;4.    Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah wajib membuka diri terhadap pemeriksaan/investigasi Komnas HAM dan Kompolnas sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas publik;

5.Kepala Divisi Propam Mabes Polri memerintahkan penyelidikan secara terbuka dan profesional kepada seluruh Polisi yang terlibat, mengajukan para pelaku ke pengadilan dan membuka akses kepada masyarakat sipil dalam pemantauan proses peradilannya. Bahkan jika terdapat ketidakberesan dalam penanganan Propam Polda Sulteng, maka Div. Propam Mabes wajib mengambil alih pemeriksaan tersebut; 

6.Komisi Kepolisian Nasional secara aktif memantau proses pemeriksaan Polisi yang diduga melakukan pelanggaran disiplin maupun pelanggaran Pidana atas kasus ini. Selain itu juga memantau proses pemeriksaan para warga yang menjadi Tersangka demi menghindari pelanggaran-pelanggaran lain dalam proses pemeriksaan Tersangka;

7.Komnas HAM menyelesaikan laporan pemantauan yang dilakukan dan mengumumkan rekomendasi dari pemantauan tersebut;

8. Gubernur Sulawesi Tengah dan Bupati Morowali beserta jajarannya sebagai pemegang kekuasaan di daerah untuk tanggap terhadap konflik yang telah berjalan hampir 5 tahun ini, menyelesaikan akar masalah dan mengedepankan perlindungan terhadap warganya guna meminimalisir konflik yang dikhawatirkan akan meluas. Mengabaikan penyelesaian masalah antara PT. Medco – masyarakat Morowali, sama saja dengan meninggalkan bom waktu dan membiarkan konflik terus terjadi di masyarakat.

Hormat kami,
TIM ADVOKASI RAKYAT MOROWALI BERSATU
 

PILNET, WALHI, ELSAM, KONTRAS, IHCS, KIARA, K P A, YLBHI, I H I, LBH Jakarta, JATAM, AMAN, Sawit Watch, HUMA, SPI, Solidaritas Perempuan, IMPARSIAL, LBH APIK Sulteng, JATAM Sulteng, WALHI Sulteng, LPSHAM Sulteng, PBHR Sulteng, LBH Manado, KONTRAS Sulawesi