Teror Bom Solo Tidak Bisa Menjadi Alat Justifikasi Kewenangan Berlebih BIN dalam RUU Intelijen

Teror Bom Solo Tidak Bisa Menjadi Alat Justifikasi Kewenangan Berlebih BIN dalam RUU Intelijen

Kami mengecam terjadinya ledakan bom bunuh diri Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Kota Solo. Ledakan itu terjadi saat jemaat hampir usai melakukan ibadah pada minggu (25/9). Akibat peristiwa ini, 2 (dua) orang meninggal dunia (satu diantaranya adalah pelaku bom bunuh diri) dan 22 orang lainnya mengalami luka-luka akibat serpihan material bom. Kami mengecam segala bentuk kekerasan yang brutal untuk alasan apa pun. Kami juga menyampaikan rasa duka yang mendalam bagi para korban dan keluarga korban.

Sebelum peristiwa di GBIS, KontraS mencatat telah terjadi empat kali terror di masyarakat dengan metode bom bunuh diri. Pertama kali terjadi pada peristiwa bom mobil bunuh diri di depan kedutaan Australia (Januari 2005), bom bunuh diri salah satu café di Bali yang kemudian disebut sebagai peristiwa Bom Bali II di bulan Oktober 2005, Bom bunuh diri di Hotel J.W Marriot dan Ritz Charlton di Juli 2009, bom bunuh diri saat ibadah sholat jumat di mesjid kompleks Polres Cirebon pada April 2011.

Model dari metode kekerasan ini menunjukkan bahwa pelaku dan jaringannya tidak hanya dituntut untuk memiliki keberanian namun juga kematangan penguasaan wilayah target sasarannya, kesiapan pendanaan dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan aksinya.

Insiden ini menjadi tamparan bagi pihak intelijen yang selalu lemah mengidentifikasi dan mengungkap terror di masyarakat. Kelemahan ini tidak menjadi justifikasi pengesahan RUU Intelijen yang saat ini memasuki tahap pembahasan di legislative dan dikhawatirkan akan disahkan dengan tergesa-gesa. Dalam momentum ini justeru kami mencurigai adanya korelasi antara terror di masyarakat dan pembahasan RUU Intelijen di DPR. Pernyataan para politisi dan pejabat pemerintahan seakan mengarahkan perlunya percepatan pengesahan RUU Intelijen ini karena situasi terror yang terjadi di masyarakat.

Bukan tidak beralasan, ditengah hangatnya pembahasan usulan RUU Intelijen pada April 2011, sebuah bom bunuh diri terjadi di salah satu mesjid di kompleks Mapolres Cirebon. Pelaku pemboman meninggal dunia, pejabat dan beberapa anggota kepolisian mengalami luka serius. Terror itu tidak hanya mengusik rasa aman masyarakat namun mengarah targetnya pada aparat yang harusnya menjaga keamanan masyarakat. Momentum lainnya yang harus dicermati saat pembahasan RUU Intelijen ini, adalah wilayah eks konflik (Ambon dan Poso) yang masih banyak menyisakan persoalan traumatik warga dan hak-hak keperdataan mulai diusik.

Kami meminta Kapolri untuk mengusut tuntas peristiwa ini dan mengefektifkan intelejen Polri untuk mendeteksi agar peristiwa kekerasan dan konflik tidak meluas. Kami juga meminta DPR RI untuk tidak memaksakan diri mengesahkan RUU intelejen dengan justifikasi pemberian kewenangan BIN dalam penanganan peristiwa terror bom di Solo. Polri tetap harus menjadi garda terdepan dalam menjaga keamanan masyarakat dengan mengefektifkan semua peran institusi Negara lain sebagai pendukungnya.

Jakarta, 26 September 2011
Badan Pekerja,

Haris Azhar
Koordinator