Reformasi Dibayangi Tindakan Kekerasan

Jakarta, Kompas – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) memberikan beberapa catatan terkait ulang tahun ke-66 Tentara Nasional Indonesia. Beberapa catatan yang membayangi reformasi TNI itu antara lain tindakan kekerasan, konflik lahan, dan tindakan politis.

Hal itu disampaikan Koordinator Kontras Haris Azhar, Minggu (2/10). Dari beberapa kasus, terlihat bahwa penyiksaan dan penganiayaan jadi salah satu pendekatan dominan. Haris menyoroti beberapa tindak kekerasan yang dilakukan aparat TNI, seperti peristiwa di Papua di mana terjadi praktik penyiksaan sekitar Maret 2011 yang berujung pada kematian Charles Mali.

Kekerasan juga terjadi dalam konflik lahan, seperti di Kebumen, Jawa Tengah, dan pengosongan rumah keluarga purnawirawan TNI. Kasus di Kebumen berpuncak pada 16 April 2011 saat terjadi insiden penembakan. �Ini menunjukkan TNI arogan menyikapi protes warga,� katanya.

Kontras juga menyoroti tindakan TNI AD, terutama Kodam Siliwangi, berkaitan dengan masalah Ahmadiyah. Kodam Siliwangi menggelar operasi yang memanggil paksa, mendata, melarang peribadatan, hingga memaksa anggota Jemaah Ahmadiyah mengucapkan kalimat syahadat. Intensitas itu amat terlihat di sejumlah kota di Jawa Barat, seperti Subang, Sukabumi, Majalengka, dan Bogor.

Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul menyatakan, semua aparat TNI yang melakukan kekerasan sudah dikenai sanksi. Berkaitan dengan insiden di Papua, dalam tiga insiden terakhir yang sudah terbukti, semua sudah dikenakan sanksi. �Memang ada satu hingga dua anggota yang melakukan kekerasan, tetapi tak bisa digeneralisasikan dengan 40.000 anggota TNI,� katanya.

Dari sisi hukum, Kontras menilai TNI cenderung menerapkan �hukum�-nya sendiri. Dalam kasus Kebumen, aparat lokal melakukan patroli keamanan pascabentrokan. Padahal, mekanisme-mekanisme itu cenderung tertutup karena semua entitas peradilannya merupakan anggota militer. Dalam kasus penyiksaan, KUHP Militer dan Peradilan Militer tidak memiliki yurisdiksi delik �penyiksaan�.

Namun, di sisi lain merespons hal itu, justru ada perkembangan menarik saat Panglima TNI mengeluarkan Peraturan Panglima Nomor 73/IX/2010 tentang Penentangan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan Lain yang Kejam dalam Penegakan Hukum di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia (27 September 2010). �Kegagalan menghukum tindakan pelanggaran HAM akan memperburuk citra TNI,� kata Haris.

Iskandar menyatakan, peradilan militer kini sudah terbuka. Semua orang bisa mengikuti persidangan. TNI tidak bisa mengintervensi. �Mahkamah Agung langsung kontrol,� katanya.

Kontras juga menyoroti politisasi TNI. Dalam masa kepemimpinan Kepala Staf TNI AD Jenderal George Toisutta, selain peningkatan kekerasan, terutama dalam pengambilalihan rumah keluarga purnawiran, juga keterlibatan George dalam bursa ketua PSSI disertai insiden penggunaan kekerasan dan intimidasi.

Dipilihnya Jenderal Pramono E Wibowo sebagai KSAD juga dinilai sarat dengan muatan politik daripada profesional mengingat Pramono adalah adik ipar Presiden. �Jangan karena Pak Edhy itu adiknya Bu Ani langsung dikatakan TNI berpolitik,� kata Iskandar.

Ia menyatakan, sesuai UU No 34/2004 tentang TNI, tidak ada prajurit aktif yang boleh berpolitik praktis. Terkait Pramono, sudah melalui berbagai jenjang seperti Pangdam, Pangkostrad yang menunjukkan kapabilitas. (EDN)