LSM Kritik Rencana Pengesahan RUU Intelijen

JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Intelijen Negara mendesak DPR menunda persetujuan untuk mengesahkan RUU Intelijen Negara menjadi UU pada rapat paripurna 11 Oktober ini. Mereka beralasan masih banyak pasal-pasal bermasalah yang bersifat subversif dan mengancam kebebasan HAM, pers, maupun kebebasan informasi.

"Pembuatan RUU Intelijen seharusnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan negara untuk tetap menjamin dan melindungi kebebasan masyarakat sipil dan menjaga serta melindungi keamanan nasional," kata Direktur Program Imparsial Al Araf di Jakarta, Senin (10/10).

Rencananya, rapat paripurna DPR, 11 Oktober, akan mengesahkan RUU Intelijen Negara. Atas rencana ini koalisi masyarakat yang terdiri dari Imparsial, Kontras, IDSPS, Elsam, The Ridep Institute, Lesperssi, Setara Institute, LBH Masyarakat, ICW, YLBHI, LBH Jakarta, dan sejumlah lembaga masyarakat lainnya, kaget. Mereka berpikir RUU tersebut baru akan disahkan pada 26 Oktober mendatang.

Koalisi melihat ada lima hal krusial dalam RUU ini yang bersifat subversif dan mengancam kebebasan sipil. Pertama, RUU Intelijen tak mengatur secara terperinci kategori rahasia intelijen yang menjadi bagian dari rahasia negara. Kategori rahasia negara tertera di Pasal 25, Pasal 26 jo Pasal 44 dan Pasal 45. "Tanpa adanya penjelasan terperinci, pasal tersebut bersifat multitafsir dan dikhawatirkan ditafsirkan sepihak oleh penguasa," kata Al Araf.

Kedua, istilah dan wewenang penggalian informasi yang diatur dalam Pasal 31 yang bersifat multitafsir. Ketiga, pengangkatan Kepala BIN yang harus mendapatkan pertimbangan parlemen di Pasal 36. "Dalam pemerintahan presidensial, seharusnya pengangkatan kepala BIN menjadi hak presiden agar tak dipolitisasi," tambah Araf.

Keempat, pengaturan tentang pengawasan dalam RUU ini belum diatur secara berlapis dan terperinci (Pasal 43). Kelima, RUU Intelijen juga belum mengatur mengenai mekanisme komplain oleh agen intelijen yang secara nyata melakukan pelanggaran hukum.

Sementara itu, Koordinator Kontras Haris Azhar menambahkan suatu hari nanti DPR akan sangat menyesal telah mengesahkan RUU ini. Karena, selain hanya dibuat untuk kepentingan pemberantasan terorisme, RUU ini juga akan bisa memperkuat rezim penguasa. "RUU ini berpotensi besar digunakan secara fleksibel oleh pelaksananya," kata Haris.

Pengesahan RUU ini juga dinilai akan memicu empat hal, yakni akan memicu debat kontroversi atas peraturan tersebut, akan banyak orang-orang yang dirugikan dan membentuk rezim korban baru, secara perlahan akan terbangun persepsi baru tentang intelijen dan kemungkinan akan ada kriminalisasi. "RUU ini juga berpotensi ke arah pembentukan rezim brutal," ujarnya.

Peneliti hukum dan HAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menyatakan bukan hanya masyarakat yang akan dirugikan atas pengesahan RUU Intelijen. "RUU ini juga bisa menjadi bumerang bagi parpol karena mereka memegang informasi rahasia terbanyak. Parpol bisa terjerat Pasal 44 dan Pasal 45 yang ancamannya pidana," katanya.

Dia berharap ada anggota DPR yang mau menjadi martir. Dalam arti, ada anggota DPR yang berani menolak RUU ini pada rapat paripurna nanti. Dengan adanya penolakan, dia yakin ada harapan untuk melakukan perbaikan atas RUU ini. Wahyudi mengingatkan DPR jangan terlalu fokus mengejar pencapaian legislasi tanpa melihat kualitas dari RUU yang mereka ciptakan.

Pengesahan RUU Intelijen juga berpotensi akan membuat kewenangan institusi penegak hukum saling bertabrakan. Pasal tentang penggalian informasi, menurut Direktur Aksekutif Imparsial Poengky Indarti, terancam akan membuat lembaga intelijen dengan kepolisian saling bertabrakan, terutama saat polisi melakukan pemeriksaan terhadap tersangka. "Intelijen berpotensi "ngebon" (menitipkan pertanyaan) kepada polisi saat menggali informasi," katanya.

Poengky justru berharap RUU Intelijen lebih mengedepankan koordinasi antar-instansi penegak hukum. Jika koordinasi seperti ini tak diatur detail, dia khawatir aturan yang sudah disahkan itu justru akan merusak pemerintah dan DPR itu sendiri.

Untuk itu, koalisi masyarakat mendesak agar RUU Intelijen ditunda pengesahannya. Jika tak ada penundaan, koalisi sepakat akan membawa regulasi ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji kembali (judicial review). "Itu jalan satu-satunya untuk mempertanyakan RUU ini, walaupun prosesnya akan lama," kata Al Araf.

Secara terpisah, Ketua Panitia Kerja RUU Intelijen Negara Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan pada 11 Oktober ini, DPR melalui rapat paripurna akan segera menyetujui RUU tersebut untuk disahkan menjadi UU. 0 way/P-3