Budaya Kekerasan Masih Mendominasi Wajah Polri

Budaya Kekerasan Masih Mendominasi Wajah Polri

Setidaknya pada medio dua bulan terakhir (akhir Agustus-Oktober 2011) budaya kekerasan ditubuh Polri masih terus terjadi. Setidaknya tercatat beberapa kasus seperti peristiwa penembakan oleh anggota Polres Morowali kepada warga di Tiaka Sulteng, penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan terhadap 15 orang warga Papua di Kotaraja Jayapura, penembakan pekerja PT Freeport Indonesia dan terakhir kasus penyerangan dan tindakan rasisme Polri terhadap aktivis yang menolak isi UU Intelijen di depan gedung DPR RI. (lihat kronologis)

Beberapa tindak kekerasan dan pembunuhan oleh anggota Polri tersebut terjadi, disebabkan oleh banyak faktor, namun faktor utamanya adalah buruknya mekanisme penghukuman / sanksi internal untuk anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum / abuse of power. Sanksi yang sering diberikan hanyalah sanksi kode etik internal yang hukumannya relatif ringan bahkan sering berupa sanksi administratif.

Kasus penyerangan dan tindakan rasisme terhadap para aktivis yang sedang melakukan aksi menolak isi UU intelijen negara di DPR RI (11/10), terkesan “dibenarkan” oleh Polri tanpa ada kejelasan dan klarifikasi prosedur penanganan unjuk rasa yang digunakan, mengingat fakta di lapangan anggota Polri sesaat sebelum unjuk rasa selesai, dan para peserta aksi sudah merapat ke pinggir jalan, polisi yang berada di seberang jalan tiba †tiba menyerang dan mengeluarkan kata †kata rasis, salah seorang peserta aksi mengalami pemukulan, hingga lebam dan infeksi. Tindakan kekerasan tersebut telah dilaporkan ke Propam Mabes Polri, namun belum mendapat titik terang bahkan di satu sisi petugas Divisi Provesi dan Pengamanan (PROPAM) Mabes Polri menolak menerima pengaduan berbasis rasisme yang dilakukan personel Polri.

Budaya kekerasan di tubuh Polri ini semakin menunjukan lemahnya kepemimpinan Polri, karena tidak cukup mampu menunjukan perubahan paradigma, baik ditingkat konsep, kultur dan implementasi di lapangan. Sering terjadi kontroversi penerapan prosedur tetap (Protap) penanganan unjuk rasa, namun tidak banyak yang dilakukan evaluasi serius oleh Polri.

Meski Polri telah memasukkan kurikulum Hak Asasi Manusia (HAM) dalam materi pendidikan bahkan Kapolri telah mengeluarkan Peraturan nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara RI. Bahkan Polri juga telah memiliki beberapa Protap seperti Protap penanggulangan Anarkhi dan Dalmas, sebagai ukuran akuntabilitas, namun dalam implementasi di lapangan tidak banyak berpengaruh.

Jakarta, 16 Oktober 2011

KontraS, Sahabat Munir, HAMMurabi, Komunitas Sahabat Munir Tangerang (KSMT), PASTI Indonesia

Cp: Bustami Arifin (081318332251)

Lampiran: Kronologis pemukulan dan tindakan rasisme anggota Polri (unduh)