Penyerangan terhadap Peserta Kongres III Rakyat Papua

Penyerangan terhadap Peserta Kongres III Rakyat Papua

KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengecam rangkaian tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI dan Brimob Polda Papua terhadap peserta Kongres Rakyat Papua III di Abepura.

Dilaporkan sekitar pukul 16.00 Waktu Papua telah berlangsung acara penutupan Kongres Tiga Rakyat Papua dengan informasi yang beredar via sms menyebutkan keputusan Kongres memilih Presiden Papua: Forkorus Yambosembut, Perdana Menteri : Edison Waromi, bentuk Negara : Republik Federal Papua Barat. Kongres tersebut kemudian diakhiri dengan pembacaan Deklarasi oleh Presiden negara Republik Federal Papua Barat yang terpilih, Forkobus Yambosembut.

Informasi yang kami terima menyatakan bahwa setelah acara penutupan tersebut, tiba-tiba terdengar suara rentetan yang mengarah ke lokasi pelaksanaan kongres di lapangan sepak bola Sakeus, kampus STFT Padang Bulan Abepura. Laporan dari saksi di lokasi menyebutkan aparat TNI dari arah bawah lapangan mendekati peserta kongres dan melepaskan tembakan. Lebih dari 1000 orang peserta kongres kemudian lari menyelematkan diri hingga diantaranya ke lokasi seminari tinggi. Aparat keamanan dari TNI dan Brimob Polda Papua mengejar dan hendak menangkap pelaksana kegiatan Kongres yaitu Selpius Boby dan Forkobus Yambosembut.

Aparat Brimob dan TNI melakukan penyisiran disekitar rumah-rumah warga di Padang Bulan, Abepura. Informasi menyebutkan adanya penangkapan terhadap beberapa orang peserta kongres, mereka dimasukan di mobil baracuda Polisi. Hingga laporan ini dibuat penangkapan telah dilakukan terhadap lebih dari 100 orang warga Papua yang saat ini berada di Polda Papua untuk menjalani pemeriksaan.

Kami menilai bahwa TNI/Polri telah melakukan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen II pasal 28E ayat 3 menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Demikian juga dengan UU no. 12 tahun 2005 tentang pengesahan Konvensi Hak-hak Sipil Politik pasal 21 menyatakan: “Hak untuk berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada satu pembatasan dapat dikenakan pada pelaksanaan hak tersebut kecuali jika hal tersebut dilakukan berdasarkan hukum, dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat, atau perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain.”

Kekerasan ini tersebut juga merusak propoerti institusi keagamaan. Kerusakan dialami oleh wisma seminari Fajar Timur sebagai akibat dari penembakan aparat saat membubarkan massa di lapangan Zakeus. Wisma ini mengalami kerusakan pada komputer dan kaca pintu. Hal ini jelas melanggar pasal 17 ayat 2 DUHAM (Deklarasi Universal HAM) yang menyatakan: "tidak seorangpun bisa dirampas harta miliknya dengan semena-mena". Sementara itu penyerbuan yang dilakukan oleh Brimob dan TNI juga diarahkan ke Biara sang Surya di Abepura menunjukkan adanya ancaman terhadap kebebasan beragama sesuai pasal 18 ayat 1 UU no. 12 tahun 2005 tentang pengesahan Konvensi Hak-hak Sipil Politik: “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan dan beragama[…]”.

Tindakan penembakan disertai penangkapan, pengerusakan dan penyisiran tidak dapat dibenarkan, mengingat Kongres yang mereka gelar merupakan kegiatan yang bukan masuk dalam kategori tindakan kekerasan yang tidak mengancam seketika jiwa seseorang atau lebih. Jika aparat memandang bahwa tindakan mereka telah melanggar hukum, maka prosedur hukum harus dikedepankan, pemanggilan secara prosedural harus dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

Tindakan kekerasan ini oleh aparat Polri dan TNI dikhawatirkan akan semakin memperburuk tingkat kekecewaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia.
Terlebih-lebih tuduhan makar merupakan salah satu modus kriminalisasi terhadap terhadap setiap aspirasi politik dari Papua. Dikhawatirkan situasi ini akan terus memperburuk potensi dialog dalam mencari perdamaian. Termasuk situasi ini akan memperburuk citra TNI dan Polri yang kerap mengaku telah menjadi institusi yang reformis.

KontraS juga mempertanyakan keterlibatan TNI dalam operasi pembubaran paksa Kongres tersebut. Patut diduga bahwa keterlibatan TNI adalah ilegal mengingat keterlibatan TNI tersebut harus mendapat persetujuan dari Presiden dan disetujui oleh DPR dalam konteks gelar pasukan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 17 ayat 1 dan 2 UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI yang menyebutkan: “(1) Kewenangan dan tanggungjawab pengerahan dan kekuatan TNI berada pada Presiden. (2) Dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapat persetujuan DPR”. Apalagi peserta kongers tersebut adalah masyarakat biasa dan bukan kombatan, sehingga keterlibatan TNI pada ruang tersebut tidak diperlukan.

Untuk itu, KontraS mendesak kepada:

1. PANGLIMA TNI menarik pasukannya dari wilayah kongres diadakan mengingat keberadaannya tidak mendapatkan keputusan politik DPR.

2. KAPOLRI untuk menghentikan segala bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum baik itu penangkapan, penyisiran atau lainnya kepada masyarakat peserta kongres.

Jakarta, 20 Oktober 2011

Badan Pekerja KontraS

Haris Azhar
Koordinator