Reshuffle Kabinet SBY dan Agenda Hak Asasi Manusia
KontraS tidak melihat banyak kemungkinan kemajuan Hak asasi manusia dari agenda evaluasi dan pergantian menteri pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, dipertengahan Oktober 2011 ini. Hal ini disebabkan oleh ketidak jelasan latar belakang pergantian sejumlah nama menteri (seperti Menteri Hukum dan HAM) dan masih dipertahankannya menteri-menteri yang tidak kontributif dari kacamata hak asasi manusia (seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Agama). Hutang penuntasan kasus-kasus pelanggaran ham tidak menjadi inspirasi perubahan nama di kabinet SBY. Setidaknya ada sejumlah situasi yang seharusnya menjadi agenda perhatian SBY dalam reshuffle sejumlah menteri dalam kabinetnya;
Kasus-kasus pelanggaran HAM
Praktek kekerasan dan pelanggaran HAM masih terus terjadi dan meluas diberbagai sektor; kekerasan dan kriminalisasi masyarakat adat/lokal atau petani yang dituduh melakukan pendudukan lahan-lahan perusahaan, atau dianggap menduduki lahan-lahan sengketa dengan TNI. Dalam setahun terakhir KontraS juga mencatat telah terjadi banyak tindak penyiksaan dan tindakan kejam lainnya yang dilakukan oleh aparat Kepolisian, aparat militer dan petugas Lapas (termasuk terhadap para tahanan dan narapidana politik di Papua dan Maluku). Bahkan di wilayah timur Indonesia seperti Papua dan Maluku, isu separatisme memudahkan praktek kekerasan terhadap mereka yang dituduh “separatisâ€. Bahkan dimasa detik-detik reshuffle dilakukan kekerasan di Papua masih terjadi.
Lemah dalam memberikan perlindungan penyelesaian masalah
Pemerintah SBY gagal memberikan perlindungan, meskipun hanya minimal dalam 2 aspek; pertama, terhadap kekerasan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu terhadap kelompok masyarakat sipil lainnya (biasanya minoritas) atau gagal memberikan perlindungan terhadap warga negara Indonesia yang terancam kekerasan dan kesewenang-wenangan dari negara lain, seperti kasus hukuman mati para TKI/WNI di Arab Saudi;
Kedua, gagal memastikan adanya penghukuman yang akuntabel atas kekerasan-kekerasan yang terjadi, terutama jika kekerasan tersebut dilakukan oleh aparatur negara dan kolabor-kolabornya. Baik yang terjadi dimasa reformasi (dalam 12 tahun terakhir) maupun yang terjadi dimasa orde baru. Kalaupun ada penyelesaian tersebut maka hal itu tidak memenuhi aspek keadilan dan tidak memuaskan korban. Lihat saja kasus Munir, kasus orang hilang atau kasus penyiksaan di Papua yang hanya dibawa ke mekanisme internal militer. Untuk kasus orang hilang dan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu, hampir tidak perkembangan dari pemerintahan SBY. Bahkan SBY tidak menindak lanjuti rekomendasi DPR RI atas kasus orang hilang. Pemerintahan SBY juga gagal menindak lanjuti rekomendasi UU Pemerintah Aceh yang mengamanatkan didirikannya Pengadilan HAM di Aceh.
Reformasi Sektor Keamanan
Agenda mendorong institusi-institusi keamanan menjadi lembaga yang tunduk pada prinsip-prinsip demokratis juga nyaris nihil. Pengambilalihan bisnis militer tidak jelas perkembangannya. Yang muncul adalah pengambil alaihan lahan dan rumah-rumah keluarga purnawirawan. UU Intelijen justru dibuat dengan banyak ketidakpastian yang berpotensi terjadinya pelanggaran HAM.
Kejahatan terorisme belakangan sering dijadikan dasar pembenar untuk bagi terjadinya praktek-praktek kekerasan oleh Polisi (terutama Densus 88) dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang militeristik, seperti pelibatan militer dalam BNPT (Badan Nasional Penaganan Terorisme) dan pelibatan Komando Teritorial (Koter). SBY juga memiliki problem serius dalam penunjukkan kepala-kepala institusi keamanan. Timur Pradopo ditunjuk menjadi Kapolri diluar dari rekomendasi Kompolnas. Kepala BIN yang baru pun ditunjuk tanpa mengikuti aturan UU Intelijen yang baru disahkan, dimana seharusnya mendapat persetujuan dari DPR.
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Dalam soal kebijakan peraturan perundang-undangan, pemerintah SBY selama ini cenderung membiarkan bermunculannya aturan-aturan yang anti terhadap HAM dan Konstitusi. baik ditingkatan Daerah ataupun ditingkatan Nasional. Didaerah banyak bermunculan aturan yang melarang kebebasan perempuan dan kelompok minirotias seperti Ahmadiyah. Ditingkatan Nasional terdapat aturan-aturan yang memudahkan terjadinya represi terhadap warga sipil, seperti UU Intelijen, UU Perkebunan (yang baru saja dibatalkan di MK) dan UU Minerba. Lebih jauh, Saat ini sedikitnya masih terdapat 30 peraturan mendiskriminasikan korban pelanggaran HAM berat masa lalu untuk mendapatkan hak †hak sipil politik maupun hak †hak ekonomi, social, budaya. Peraturan ini terdapat dalam berbagai bentuk seperti Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri dalam Negeri (Kemendagri) Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri), Peraturan Daerah (Perda).
Selain itu, masih terdapat Peraturan Pemerintah (PP) yang menghambat upaya pemulihan korban untuk mendapatkan kompensasi, rehabilitasi dann restitusi. Peraturan tersebut diantaranya PP No 3/2002 tentang Kompensasi, Rehabilitasi dan Restitusi dann Bantuan Kepada Saksi dann PP 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Dalam peraturan tersebut, kompensasi masih digantungkan dalam amar putusan serta mempersempit pengertian kompensasi yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara menjadi tanggungjawab pelaku, dalam hal ini negara memberikan kompensasi karena pelaku tidak mampu memberikan ganti rugi.
Kami berpendapat bahwa 3 tahun tersisa sungguh amat berat bagi Presiden SBY dan kabinetnya untuk menunaikan persoalan-persoalan HAM diatas. Terlebih proses dan hasil reshuffle tidak dilakukan secara profesional dan menghasilkan sejumlah pertanyaan. Diantaranya, terkait dengan penunjukan Perwira aktif menjadi Kepala BIN. Hal ini cukup bermasalah mengingat BIN harus didorong menjadi lembaga sipil. Meskipun Sosok Marciano dikenal tegas, namun sesungguhnya sosok profesionalitas yang dibutuhkan. Bahkan Marciano tidak berpengalaman dan dikenal dari kalangan intelijen. Demikian pula dengan Amir Syamsoedin yang berasal dari profesi Advokat-berlatar belakang sama dengan Menkumham yang sebelumnya Patrialis Akbar. Disisi lain, pengangkatan wakil-wakil menteri dengan jumlah yang banyak memberikan kesan bahwa para menteri tidak mampu menjalankan tuga-tugasnya. Padahal jika memang para wakil menteri yang diangkat berasal dari kalangan profesional dan karir maka sepatutnya merekalah yang diangkat menjadi menteri. Kami menduga bahawa reshuffle ini hanyalah politik akomodasi para profesional (yang dijadikan wakil menteri) dengan para politisi dari berbagai partai koalisi pendukungn pemerintahan SBY.
Meskipun kami menyayangkan situasi ini, paling tidak ada sejumlah hal yang bisa digunakan sebagai alat ukur minimal dalam melihat keberhasilan pemerintah SBY dalam penaganan HAM dengan sisa umur 3 tahun kedepan;
Terkait dengan Kemeterian Pertahanan
Terkait dengan Kementerian Pertanian
Terkait dengan Kementerian Hukum dan HAM
Terkait dengan Kementerian Agama
Terkait dengan Kementerian Luar Negeri dan Kementarian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Jika 14 hal ini tidak terpenuhi untuk menjamin pemenuhan HAM di Indonesia maka sesungguhnya pernyataan-pernyataan, reshuffle dan janji-janji presiden maupun menteri-menterinya hanyalah entertauinment politik belaka.
Jakarta, 19 Oktober 2011
Haris Azhar
Koordinator KontraS