Surat Terbuka Kepada Kapolri Mendesak Pemeriksaan terhadap Dugaan Penggunaan Kekuatan yang Berlebihan, Penembakan dan Penyiksaan yang Menyebabkan Kematian pada Peserta Kongres III Papua

Hal : Surat Terbuka Kepada Kapolri Mendesak Pemeriksaan terhadap Dugaan Penggunaan Kekuatan yang Berlebihan, Penembakan dan Penyiksaan yang Menyebabkan Kematian pada Peserta Kongres III Papua

Kepada Yth
Jenderal Pol. Timur Pradopo
KAPOLRI
Di Tempat

Dengan hormat

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mengecam keras diberlakukannya penggunaan keekuatan yang berlebihan serta tindakan kekerasan oleh aparat TNI dan Brimob Polda Papua terhadap peserta Kongres Rakyat Papua III di Abepura. Sejak Kongres dimulai pada 17 Oktober 2011, ratusan aparat keamanan telah dikerahkan dengan menggunakan kekuatan yang berlebihan dalam menghadapi kongres tersebut. Di penutupan kongres, 19 Oktober 2011, aparat gabungan kembali dikerahkan dan melakukan penembakan kepada peserta kongres. Sekitar 1000 orang peserta kongres lari ketakutan. Sebanyak dua orang meninggal dunia akibat penembakan tersebut.

Adapun kronologis singkat dari peristiwa penembakan, penyiksaan dan dugaan penggunaan kekuatan yang berlebihan tersebut adalah sebagai berikut :

Pada penutupan Kongres Rakyat, 19 Oktober 2011, terjadi pengerahan aparat gabungan TNI/Polri sebanyak 500 personil dengan senjata laras panjang, 4 mobil baracuda dan 1 mobil water canon milik Polda Papua. Saat itu, tiba-tiba terdengar suara rentetan yang mengarah ke lokasi pelaksanaan kongres di lapangan sepak bola Sakeus, Seminari Sang Surya Abe dan kampus Sekolah Tinggi Fajar Timur Padang Bulan Abepura. Penembakan tersebut mengenai salah satu ruangan di Seminari Sang Surya Abe, satu unit komputer (dekstop) dan pintu rusak berat karena terkena tembakan. Selain itu satu staf SKPKC kemudian ditangkap oleh Polisi dan dibawa ke Polda Papua. Polisi dan TNI mengejar peserta kongres hingga melakukan penyisiran di rumah-rumah penduduk di kampung Padang Bulan, Abepura. Penyisiran juga dilakukan di asrama-asrama mahasiswa. Aparat gabungan menangkap lebih dari 300 warga Papua yang diduga mengikuti kongres tersebut. Mereka ditangkap, disiksa, dipukuli dengan laras senjata, kayu, rotan dan pedang serta ditendang lalu dinaikkan di truk-truk dan mobil baracuda polisi. Selanjutnya, para peserta menjalani pemeriksaan di Markas Polda Papua di Jayapura. Hingga larut malam, Polisi masih terus melakukan penyisiran mengejar Selpius Bobii (Ketua Panitia Kongres).

Pada pagi hari 20 Oktober 2011, ditemukan dua orang meninggal yang diduga akibat dari rentetan penembakan saat pembubaran paksa acara tersebut. Dua mayat tersebut ditemukan disekitar lokasi perbukitan dekat lokasi pelaksanaan kongres III. Kedua jenasah tersebut saat ini di otopsi di RSUD Doc II Jayapura. Salah satu jenasah tersebut bernama Melkias Kadepa, Mahasiswa UMEL Mandiri. Ia ditembak di kepala bagian belakang di hutan dekat lokasi kongres dan ditemukan di perkebunan warga di belakang kantor Korem di jalan raya Sentani. Sedangkan satu jenasah lainnya belum diketahui identitasnya, beberapa warga di RSUD menyebut identitas jenasah itu adalah seorang Petapa (penjaga tanah papua).

Hingga siang ini, sekitar 286 warga yang ditangkap dibebaskan karena polisi tidak menemukan keterkaitan mereka dengan tindakan pidana yang dituduhkan, pemulangan mereka dilakukan bertahap sejak pagi dini hari. Saat ini, masih ada 14 orang yang umumnya adalah ""petapa (Penjaga Tanah Papua), polisi adat yang berfungsi untuk menjaga keamanan berlangsungnya kongres. Selain mereka, juga diantaranya, polisi menangkap dan meminta keterangan Forkorus Yaboisembut (ketua Dewan Adat Papua/Presiden Republik Federal Papua Barat yang terpilih dalam kongres III), Eddison G Waromi (Ketua West Papua National Authority/Perdana Menteri WP yang terpilih dalam kongres III), August Makbrowen Senay (Koordinator Bidang Logistik Kongres III) dan Dominikus Serabut (Sekretaris Dewan Adat Wamena) dan Kely Perdai. Sedangkan Selpius Bobii (Ketua Panitia Kongres III Rakyat Papua) pada pukul 10.30 Waktu Papua telah menyerahkan diri kepada Polisi didampingi oleh kuasa hukum Olga Hamadi (KontraS Papua), Gustaf Kawer (pengacara) dan Victor Mambor, Ketua AJI Jayapura.

Sehubungan dengan hal tersebut, kami memandang bahwa tindakan pembubaran paksa yang dilakukan oleh anggota TNI/Polri, telah melanggar hak atas kebebasan berekspresi yang dijamin dalam konstitusi. Hak untuk berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada satu pembatasan dapat dikenakan pada pelaksanaan hak tersebut kecuali jika hal tersebut dilakukan berdasarkan hukum, dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat, atau perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain. Sementara itu, penggunaan kekuatan yang berlebihan dan tindakan penembakan disertai penangkapan, pengerusakan dan penyisiran tidak dapat dibenarkan, mengingat Kongres yang mereka gelar merupakan kegiatan yang bukan masuk dalam kategori tindakan kekerasan yang tidak mengancam seketika jiwa seseorang atau lebih.

Aparat Polri semestinya tunduk pada Perkap No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan yang mensyaratkan prinsip Proporsionalitas (sesuai denagn tujuan yang dicapai dan beratnya pelanggaran(, Keabsahan (sesuai dengan hukum nnasional dan regulasi internal polisi yang tunduk pada standar HAM internasional), Akutabilitas (memastikan akuntabilitas penggunan senjata), dan Kebutuhan (harus merupakan tindakan yang luar biasa dan dilalui dengan cara-cara non kekerasan yang bertahap). Jika aparat memandang bahwa tindakan mereka telah melanggar hukum, maka prosedur hukum harus dikedepankan, dengan malakukan pemanggilan secara prosedural harus dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

Kami memandang, tindakan kekerasan ini dikhawatirkan akan semakin memperburuk tingkat kekecewaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia, khususnya di tengah upaya mendorong perdamaian dan dialog konstruktif yang tengah diinisiasi. Terlebih-lebih tuduhan makar merupakan salah satu modus kriminalisasi terhadap terhadap setiap aspirasi politik dari Papua.

Untuk itu, KontraS mendesak kepada KAPOLRI untuk:

1. Memerintahkan Irwasum dan Kadiv Propam Mabes Polri untuk melakukan pemeriksaan pada seluruh anggotanya di lapangan yang diindikasi melakukan tindakan penggunaan kekuatan yang berlebihan dan penyiksaan saat penangkapan ataupun penyisiran kepada peserta kongres.

2. Melakukan Irwasum dan Kadiv Propam Mabes Polri untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap pelaku penembakan kedua warga Papua yang diduga ditembak saat dilakukan pembubaran paksa Kongres III Papua.

3. Memastikan Kapolda Papua agar peserta kongres yang ditangkap dan ditahan untuk mendapatkan hak-haknya untuk tidak disiksa atau direndahkan martabatnya serta menjamin hak praduga tak bersalah sesuai hukum yang berlaku. Peserta kongres Papua yang ditangkap harus mendapatkan akses bantuan hukum, pendampingan, jaminan tempat penahanan dan makanan yang layak.

4. Membuka diri terhadap pengawasan eksternal seperti Komnas HAM dan Kompolnas untuk melakukan pemeriksaan terhadap peristiwa ini untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas terhadap kerja Polri.

Demikian hal ini disampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 20 Oktober 2011
Badan Pekerja KONTRAS

Haris Azhar
Koordinator

Tembusan:
1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan
2. Wakapolri
3. Kapolda Papua
4. Ketua Komnas HAM
5. Ketua Kompolnas