KontraS Aceh: Kekerasan di Aceh Masih Tinggi

KontraS Aceh: Kekerasan di Aceh Masih Tinggi

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, mencatat kasus kekerasan dalam penegakkan syariat Islam merupakan kasus tertinggi tahun 2011. Tahun lalu terjadi 46 kasus, pada 2010 tercatat 55 kasus.

Memandikan warga yang diduga melakukan pelanggaran syariat Islam, merupakan tindak yang paling sering terjadi, setidaknya ada 26 kasus sepanjang tahun. Diikuti tindak pemukulan, sebanyak 15 kasus.

Menurut Destika Gilang Lestari, Koordinator KontraS Aceh, institusi berwenang terkait syariat Islam harus terus mengsosialisasikan larangan ‘main hakim’ sendiri.

“Penegakkan hukum terhadap pelaku ‘main hakim’ sendiri mutlak harus dilakukan, tak boleh ada yang kebal hukum di Aceh,” jelasnya, Senin (4/1/12).

Dalam  laporan akhir tahun 2011 KontraS Aceh, kepolisian Aceh berada diperingkat teratas institusi vertikal yang melakukan tindak pelanggaran HAM. Polisi melakukan delapan kasus kekerasan, disusul TNI lima kasus, Sipir empat kasus dan Satpol PP satu kasus.

“Tiga kasus penembakan warga dan lima kasus penganiayaan, ini cukup kuat untuk menyimpulkan reformasi perpolisian di Aceh gagal,” tegas Gilang.

Menurut Gilang,  polisi Aceh masih berkonsentrasi pada upaya penegakan hukum internal. Hal ini ditunjukkan dengan upaya menertipkan kasus-kasus kriminal yang dilakukan jajarannya, selain pendekatan masyarakat sebagai upaya perbaikan citra.  Tapi sayangnya penegakan akuntabilitas belum optimal menyentuh kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum polisi. “harusnya kepolisian Aceh dalam memperbaiki citranya, mengutamakan pembuktian pada masyarakat telah berhasil menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik,” jelasnya.

TNI juga terlibat dalam berbagai aksi kekerasan di Aceh. Tahun 2011, KontraS Aceh mencatat lima kasus. Dua diantara kasus penembakan warga, serta tiga kasus penganiayaan. Dua dari kasus kekerasan tersebut terkait pengamanan tambang.

Keterlibatan TNI dalam pengamanan tambang, dinilai melanggar Undang-undang No 34 tahun 2004 pasal 2 dan pasal 39 yang menegaskan instansi ini dilarang berbisnis. Praktik bisnis pengamanan juga dianggap tindakan menghambat reformasi TNI.

KontraS Aceh memprediksikan, tahun 2012 kecenderungan oknum TNI terlibat dalam bisnis masih sangat besar. Salah satu peluangnya, sistem komando teritorial (KOTER) yang menyerupai struktur administratif pemerintahan sipil serta keberadaannya di tengah lingkungan sipil.  Struktur KOTER TNI ini selain tidak tunduk pada instrumen pemerintahan sipil juga mengaburkan peran dan fungsi pertanahanan luar.

“Pengamanan merupakan bisnis klasik yang sangat mengiurkan, walau bertentangan dengan hukum masih terus dipraktikkan,” tegas Gilang. “Hukum Indonesia jelas menyebutkan, TNI profesional dipersenjatai dan dilatih untuk pertanahan luar.”

Banda Aceh, 4 januari 2012

Destika Gilang Lestari
Koordinator Badan Pekerja.