Masih ada Petrus di Simpang Mile-51

Masih ada Petrus di Simpang Mile-51

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras atas keberlanjutan penembakan misterius (Petrus) di simpang Mile-51, tanpa diikuti pengusutan terbuka atas peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Insiden petrus kembali terjadi pada Senin, 9 Januari 2012 sekitar pukul 09.15 WIT, di ruas simpang Mile 51. Wilayah ini menghubungkan Timika dan Tembagapura. Sebuah mobil pengawas trailer milik PT Kuala Pelabuhan Indonesia (KPI) bernomor lambung LWB 01-3608, dikendarai 2 karyawan PT KPI ditembaki dan dibakar oleh orang yang tidak diketahui. Dalam insiden tersebut, 2 karyawan tewas (baca: Nasyun Naboth Simopiaref tewas di lokasi dan Thomas Bagiarsa tewas akibat luka bakar). Pasca insiden kedua korban sempat diterbangkan menggunakan helikopter ke Rumah Sakit Tembagapura untuk proses identifikasi. Sebagai informasi PT KPI adalah perusahaan kontraktor PT Freeport Indonesia. Hingga kini belum ada pernyataan resmi yang dikeluarkan Polda Papua atas kekerasan tersebut.

Insiden Mile-51 di awal tahun 2012 semakin memperpanjang daftar penembakan misterius di Papua. Utamanya sekitar areal PT Freeport Indonesia. KontraS bahkan secara khusus telah membuat laporan spesifik mengenai praktik penembakan misterius di sekitar areal PT Freeport Indonesia antara rentang waktu 2009-2011. Dilihat dari pola kekerasan, tidak ada hal baru dan membedakan antara satu kasus penembakan misterius dengan kasus lainnya. Semua kasus terjadi di titik antara Mile 35-61, di mana titik antara tersebut merupakan titik rawan yang kerap dijadikan lokasi penembakan misterius. Para penyerang juga masih menargetkan pekerja dan aset PT Freeport Indonesia.

Sekali lagi, wilayah ini merupakan zona khusus PT Freeport Indonesia dan dibutuhkan akses khusus untuk melewati wilayah tersebut. Bahkan, aparat gabungan TNI dan Polri telah melakukan penjagaan ekstra ketat di beberapa titik, khususnya di Mile 32, 34, 50, 54, 64 dan Mile 66. Namun keberadaan penjagaan ekstra ketat dari aparat gabungan TNI dan Polri serta aparat keamanan PT Freeport Indonesia tidak serta merta mampu menjamin rasa aman para pekerja PT Freeport Indonesia dan warga sipil yang menetap di sekitar lokasi kejadian untuk beraktivitas.

Padahal secara rutin, aparat gabungan TNI dan Polri telah menerima dana keamanan untuk menjaga wilayah PT Freeport Indonesia sebesar Rp. 1.250.000/bulan terhadap 635 personel aparat TNI dan Polri. Bukankah hadirnya dana tambahan tersebut bisa digunakan untuk memperbaiki kinerja aparat keamanan di lapangan? Tidak hanya mengamankan obyek vital nasional di area PT Freeport Indonesia, namun sekaligus memberikan pengamanan ekstra kepada warga sipil yang beraktivitas di sekitar areal PT Freeport Indonesia.

Model penembakan misterius kerap dijadikan instrumen penebar teror di tengah masyarakat. Khususnya masyarakat yang tinggal di wilayah konflik seperti Papua. Hal Ini kemudian memperkuat dugaan bahwa kasus-kasus penembakan misterius yang terjadi bukanlah kriminal murni. Ada nuansa lokalitas konflik yang kemudian digunakan sebagai alat untuk mengancam rasa aman warga sipil. Sebagaimana model penembakan misterius yang belakangan ini marak terjadi di Aceh, menjelang momen suksesi Pilkada. Secara sosiologis, kekerasan yang digunakan sebagai instrumen teror dapat dikelola untuk mengendalikan orang lain/komunitas, memadamkan upaya perlawanan atau bahkan memberikan legitimasi agar pihak-pihak yang memiliki otoritas kekuasaan dapat mengontrol rasa aman yang sejatinya dapat diperoleh publik secara serta merta.

KontraS mendorong aparat kepolisian, khususnya Polda Papua untuk mengambil langkah proaktif dalam menuntaskan kasus-kasus penembakan misterius. Mengingat KontraS secara langsung pernah melaporkan pola kekerasan ini kepada Mabes Polri di bulan November 2011, dan seharusnya Mabes Polri bisa memberi perhatian serius agar potensi keberulangan bisa dicegah.

Aparat kepolisian harus segera mengambil upaya hukum dan tidak menggantung perkara, dengan mengabaikan dan melemparkan tuduhan pada Organisasi Papua Merdeka, tanpa didahului dengan penyelidikan yang independen. Mengingat, pada penyelidikan sebelumnya (tahun 2011), ditemukan selongsong peluru buatan PT Pindad di sekitar lokasi kejadian. Pengabaian atas fakta peristiwa adanya praktik penembakan misterius sepanjang tahun 2011 adalah bukti dari ketidakseriusan agenda penegakan hukum di Papua.

Pilihan untuk membuka dan menyelidiki kasus-kasus penembakan misterius merupakan langkah yang bisa digunakan untuk kembali mendorong ruang pengawasan efektif. Utamanya kepada aparat gabungan TNI dan Polri yang secara khusus ditugaskan di wilayah tersebut. Penyelidikan ini juga juga bisa digunakan sebagai momentum untuk melakukan evaluasi eksternal, melibatkan institusi Komnas HAM dan Kompolnas atas pilihan-pilihan kebijakan keamanan yang telah diterapkan di Papua

Jakarta, 10 Januari 2012

Badan Pekerja,

Haris Azhar, MA
Koordinator KontraS