KontraS Tolak RUU Penanganan Konflik Sosial

TRIBUNNES.COM,JAKARTA– Pembahasan RUU Penanganan Konflik Sosial oleh Pansus DPR saat ini telah memasuki tahap akhir dan rencananya akan segera disahkan menjadi Undang-undang dalam sidang paripurna tanggal 10 April 2012.

Salah satu pasal di RUU ini menyatakan bahwa kepala daerah memiliki kewenangan untuk meminta pengerahan dan penggunaan TNI melalui Forum koordinasi pimpinan daerah dalam menangani konflik sosial di wilayahnya.

Dalam rilisnya, KontraS memandang pemberian kewenangan kepada kepala daerah untuk bisa mengerahkan TNI dalam penanganan konflik sosial merupakan bentuk pengambilalihan kewenangan Presiden.

Hal ini secara jelas bertentangan dengan Konstitusi 1945 dan Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menegaskan bahwa kewenangan pengerahan TNI ada di tangan Presiden.

"Penting diingat, fungsi pertahanan bersifat terpusat dan tidak didesentralisasikan kepada daerah dalam konteks otonomi, sehingga kewenangan untuk pengerahan TNI ada pada pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Ini artinya kepala daerah tidak memiliki kewenangan untuk pengerahan TNI," tulis KontraS, Jumat (6/4/2012).

Dijelaskan, berdasarkan Pasal 7 ayat (3) Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, pengerahan TNI baik dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas operasi militer untuk perang atau operasi militer selain perang, harus dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara dalam hal ini Presiden.Kepala daerah tidak memiliki otoritas untuk menetapkan setiap pengerahan TNI.

KontraS juga menilai, selain persoalan pemberian kewenangan kepada kepala daerah untuk pelibatan TNI, RUU PKS ini memiliki sejumlah persoalan lain yang krusial. Selain urgensi pembentukannya yang sejak awal dipertanyakan, juga tercatat setidaknya 15 pasal dianggap yang bermasalah dan potensial berimplikasi secara serius terhadap kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia.

"Mengatasi konflik sosial, ada aturan undang-undan yang bisa digunakan. Tidak perlu ada RUU PKS yang urgensinya dipertanyakan. Hal yang penting dilakukan, perbaiki kelemahan di UU yang ada, seperti revisi UU Darurat No. 23 tahun 1959, atau membentuk undang-undang yang sejak awal dipandang urgen, seperti UU tentang tugas perbantuan, atau UU KKR yang berpihak pada korban," tulis KontraS dalam situsnya.

Koalisi Masyarakat Sipil menolak pembahasan RUU Penanganan Konflik Sosial dan mendesak kepada parlemen untuk tidak mengesahkannya pada sidang paripurna mendatang.

Lebih baik, jika pemerintah dan parlemen memprioritaskan agenda pembentukan regulasi lain yang lebih penting merevisi kelemahan peraturan yang ada.Selain itu, melakukan evaluasi, koreksi terhadap kinerja lembaga keamanan yang tidak maksimal.