KontraS: Ada Aroma Persekutuan Buruk

JAKARTA – Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar mengatakan sangat menyayangkan keputusan paripurna DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial (PKS), Rabu (11/4).

"Pengesahan ini menjadi bukti bahwa pemerintah dan parlemen telah bersekutu untuk sebuah kepentingan di luar konstitusi UUD 1945 dan sistem penegakan hukum di Indonesia," kata Haris, dalam siaran persnya, Rabu (11/4).

Ia menegaskan, prinsip-prinsip demokrasi, rule of law dan hak asasi manusia hanya dijadikan pemanis tambahan, ketimbang landasan utama dalam mewacanakan pencegahan konflik sosial.

Dia menilai, argumentasi DPR yang mengklaim sudah melakukan konsultasi publik di wilayah-wilayah pasca-konflik, tidak serta merta menjamin bahwa isi UU sesuai dengan kebutuhan Indonesia hari ini.

"Harus ada ukuran dan catatan terbuka atas hasil diskusi dan sosialisasi UU Penanganan Konflik Sosial. Ukuran dan catatan ini wajib disampaikan kepada khalayak publik Indonesia," katanya.

Selain itu, menurutnya, UU PKS yang sama sekali tidak memiliki basis argumentasi yang kuat pada isu jaminan hak asasi manusia, yang sudah seharusnya dijamin oleh negara.

Hal ini terlihat dari lemahnya elemen konsideran dalam UU PKS. Logika penanganan ketimbang pencegahan konflik justru dipilih. "Itu artinya pemerintah dan DPR tidak benar-benar membela dan memperjuangkan ruang-ruang pencegahan konflik melalui pendekatan pemenuhan hak-hak asasi warga Indonesia. Konflik sosial tetap dianggap sebagai suatu kondisi yang mengganggu stabilitas nasional dan berpotensi menghambat pembangunan nasional," jelasnya.

Ia juga menyatakan, dalih DPR untuk tidak melibatkan TNI secara langsung dalam ajang penanganan konflik sosial, sesungguhnya tidak memiliki batasan yang jelas.
TNI sebagai institusi pertahanan tempur tidak memiliki kemampuan resolusi konflik apalagi pencegahan konflik sosial.

"Masih dilibatkannya TNI sebagai komponen dari Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial, justru potensial untuk digunakan sebagai alat merepresi suara dan gerakan masyarakat sipil di masa depan," ungkapnya.

Pemerintah dan DPR juga harus memahami pentingnya penegakan akuntabilitas dari aktor-aktor sipil yang dilibatkan dalam unsur Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial maupun Forum Koordinasi Pimpinan Kepala Daerah. "Namun sayangnya, UU ini masih luput untuk memastikannya," kata Haris.

Sumber-sumber konflik yang dipaparkan juga terlampau luas. Mulai dari isu politik, agama dan keyakinan sampai persoalan sumber daya alam. Para aktivis yang selama ini bergerak di bidang pendampingan kelompok buruh, tani, nelayan, kaum miskin kota bisa dijadikan sasaran sebagai pihak pencipta konflik sosial. Apalagi UU kebijakan ini juga salah kaprah dalam memahami aspek rekonsiliasi sebagai resolusi konflik.

Pengungkapan kebenaran melalui jalur rekonsiliasi hanya akan berjalan maksimal jika diikuti dengan penegakan hukum (keadilan bagi para korban). Melalui jalur keadilan, para korban bisa menuntut dipulihkannya hak-hak mereka, sebagaimana kebijakan pemulihan hak-hak korban yang tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

"Tidak hanya sebatas pada ruang restitusi sebagaimana UU ini menerjemahkannya," tegasnya.

KontraS dalam hal ini kuat meyakini bahwa UU PKS juga bisa digunakan untuk memobilisasi suara, dengan lebih dahulu menciptakan konflik dan penguasaan situasi melalui â??penanganan khususâ??.

UU ini juga menyimpan potensi besar untuk memuluskan masterplan percepatan pembangunan ekonomi di Indonesia. "Padahal kami khawatir keberadaan sektor bisnis yang masif masih dijejali dengan pendekatan kekerasan ke rakyat, yang kerap dikorbankan hak-haknya secara sepihak," katanya.

Legalisasi persekutuan di luar kesepakatan konstitusi UUD 1945 berpotensi merugikan hak-hak konstitusional warga negara Indonesia, dan jelas mampu mencederai inisiatif-inisiatif warga Indonesia dalam merawat perdamaian. "Untuk itu keberadaan UU ini harus ditolak bersama-sama," tegasnya.

KontraS mengajak kepada seluruh elemen masyarakat sipil untuk segera merespons dan melakukan konsolidasi sipil dalam upaya uji materiil UU PKS.

"Kini seluruh warga Indonesia ditantang untuk mampu merawat perdamaian, dan tidak boleh lagi digadaikan cuma-cuma pada produk perundang-undangan instan, demi keuntungan segelintir elite politik saja," pungkasnya. (boy/jpnn)