KontraS Kecewa DPR Sahkan RUU PKS

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA–Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan keputusan Paripurna DPR, Rabu (11/4/2012) kemarin yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial (RUU PKS). Pengesahan ini, dianggap bukti pemerintah dan parlemen telah bersekutu untuk sebuah kepentingan di luar konstitusi UUD 1945 dan sistem penegakan hukum di Indonesia.

"Prinsip-prinsip demokrasi, rule of law, dan hak asasi manusia hanya dijadikan pemanis tambahan, ketimbang landasan utama dalam mewacanakan pencegahan konflik sosial," kata Koordinator KontraS, Haris Azhar dalam rilisnya, Kamis (12/4/2012).

Argumentasi DPR yang mengklaim sudah melakukan konsultasi publik di wilayah-wilayah pasca-konflik, kata Haris, tidak serta merta menjamin , isi UU PKS sudah sesuai dengan kebutuhan Indonesia hari ini. Menurutnya, harus ada ukuran dan catatan terbuka atas hasil diskusi dan sosialisasi UU Penanganan Konflik Sosial. Ukuran dan catatan ini wajib disampaikan kepada khalayak publik Indonesia.

"UU Penanganan Konflik Sosial yang sama sekali tidak memiliki basis argumentasi yang kuat pada isu jaminan hak asasi manusia, yang sudah seharusnya dijamin oleh negara. Hal ini terlihat dari lemahnya elemen konsideran dalam UU Penanganan Konflik Sosial," tandasnya.

"Logika penanganan ketimbang pencegahan konflik justru dipilih. Itu artinya pemerintah dan DPR tidak benar-benar membela dan memperjuangkan ruang-ruang pencegahan konflik melalui pendekatan pemenuhan hak-hak asasi warga Indonesia," ungkap Haris lagi.

Haris menuturkan konflik sosial tetap dianggap sebagai suatu kondisi yang mengganggu stabilitas nasional dan berpotensi menghambat pembangunan nasional.

"Dalih DPR untuk tidak melibatkan TNI secara langsung dalam ajang penanganan konflik sosial, sesungguhnya tidak memiliki batasan yang jelas," katanya.

TNI sebagai institusi pertahanan tempur tidak memiliki kemampuan resolusi konflik apalagi pencegahan konflik sosial.

"Masih dilibatkannya TNI sebagai komponen dari Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial, justru potensial untuk digunakan sebagai alat merepresi suara dan gerakan masyarakat sipil di masa depan," imbuh Haris.

Pemerintah dan DPR, kata Haris, juga harus memahami pentingnya penegakan akuntabilitas dari aktor-aktor sipil yang dilibatkan dalam unsur Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial maupun Forum Koordinasi Pimpinan Kepala Daerah. Ia menuturkan sumber-sumber konflik yang dipaparkan juga terlampau luas, mulai dari isu politik, agama dan keyakinan sampai persoalan sumber daya alam.

"Para aktivis yang selama ini bergerak di bidang pendampingan kelompok buruh, tani, nelayan, kaum miskin kota bisa dijadikan sasaran sebagai pihak pencipta konflik sosial. Apalagi UU kebijakan ini juga salah kaprah dalam memahami aspek rekonsiliasi sebagai resolusi konflik. Pengungkapan kebenaran melalui jalur rekonsiliasi hanya akan berjalan maksimal jika diikuti dengan penegakan hukum (keadilan bagi para korban)," kata Haris.

KontraS meyakini bahwa UU Penanganan Konflik Sosial juga bisa digunakan untuk memobilisasi suara, dengan lebih dahulu menciptakan konflik dan penguasaan situasi melalui penanganan khusus .UU ini juga menyimpan potensi besar untuk memuluskan masterplan percepatan pembangunan ekonomi di Indonesia.

"Padahal kami khawatir keberadaan sektor bisnis yang masif masih dijejali dengan pendekatan kekerasan ke rakyat, yang kerap dikorbankan hak-haknya secara sepihak," jelasnya.

KontraS mengajak kepada seluruh elemen masyarakat sipil untuk segera merespons dan melakukan konsolidasi sipil dalam upaya uji materiil Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial.

"Kemampuan warga Indonesia untuk merawat perdamaian, tidak sebanding dengan produk perundang-undangan instan yang hanya menguntungkan segelintir elite politik saja," Haris mendandaskan.