Kontras Dorong Polisi Kendalikan Penyelidikan Kasus Geng Motor

"Sungguh disayangkan pengungkapan bukan dilakukan oleh otoritas Polri, Misalnya oleh Kapolda Jaya."

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai masih banyak kejanggalan dalam pengungkapan kasus geng motor pita kuning. Meski, Pangdam Jaya Mayor Jenderal Waris telah membeberkan empat nama anggota Arhanud TNI, yang diduga terlibat kasus tersebut. Juga pengungkapan senior TNI berinisial A, yang diduga menggerakan aksi penyerangan.

"Sungguh disayangkan pengungkapan bukan dilakukan oleh otoritas Polri, Misalnya oleh Kapolda Jaya," kata Koordinator Kontras, Haris Azhar di Jakarta, Sabtu (21/4).

Apalagi, terangnya, dari hasil invesitasi Kontras dan rangkaian pemberitaan media, peristiwa-peristiwa kekerasan pada 13 April dan sebelumnnya, terjadi di wilayah tertib sipil, serta diduga dilakukan atas motif kriminal (non militer).

Ketiadaan respon polisi menunjukan bahwa korps bercelana cokelat itu masih enggan berurusan dengan personil-personil militer dalam kaitan apapun.

Sebaliknya dari sisi militer, Haris menyatakan pihaknya khawatir bahwa pelibatan TNI dalam penanganan kasus ini justru mengindikasikan adanya peran struktur komando. Sehingga, harus diterapkan hukum militer dan penanganan hukumnya, seolah-olah harus dilakukan oleh Polisi Militer.

"Kami meminta Polisi meluruskan hal ini. Apakah benar bahwa mereka yang ditangkap melakukan kekerasan murni kriminal? Atau mereka melakukan dengan menggunakan perangkat militeristik?" tutur Haris.

Kontras juga mendesak agar penangkapan dan penahanan tidak hanya berhenti pada keempat anggota Arhanud TNI itu saja. Bagi Kontras, Kepolisian harus mencari lebih jauh siapa yang memotivasi mereka turun kejalan bersama ratusan orang lainnya.

"Jika keempat orang dianggap yang melakukan kekerasan maka patut diduga seratus lainnya merupakan pelaku ‘turut serta membantu’ atau ‘memerintahkan.’ Karena itu, harus dicari lebih jauh agar tidak terjadi peng-kambing hitam-an, terhadap keempat Prajurit saja," tutur Haris.

Pada kesempatan itu, Haris juga menyatakan pihaknya sangat kecewa terhadap Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membiarkan ketiadaan upaya amandemen UU 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Akibatnya, 4 anggota TNI yang diduga melakukan kekerasan sipil itu hanya akan dikenai sanksi berdasarkan hukum militer, yang selama ini dikritik tak memberi efek jera.

"Seharusnya UU Peradilan Militer segera dilakukan amandemen yang bisa memisahkan penanganan hukum terhadap anggota militer yang berbasis pada jenis kejahatan, bukan profesinya," tutur Haris.