Pengamanan Hari Buruh Harus Proporsional dan Profesional

Pengamanan Hari Buruh Harus Proporsional dan Profesional

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak agar Kepolisian RI tidak mengulangi kesalahan dalam mengambil kebijakan pengamanan terkait hari buruh (1/5). Polri harus belajar dari kelemahan dan kekurangan, khususnya pengalaman dalam kebijakan pengamanan aksi menentang kenaikan BBM dan penembakan buruh PT Freeport Indonesia, belum lama ini.

Namun demikian, kami melihat sejauh ini belum ada jaminan bahwa Polri akan melakukan gelar pasukan keamanan secara proporsional dan profesional. Setidaknya ada beberapa catatan yang dapat menterjemahkan kekhawatiran akan terjadi potensi kekerasan dan benturan dalam pengamanan aksi buruh, diantaranya ;

Pertama, Polri masih berorientasi pada pendekatan keamanan berlebih dan menaruh kecurigaan kepada buruh, dengan beberapa kali menyebut “aksi anarkis”. Pandangan ini tentu saja parsial, seharusnya pemerintah, khususnya Polri harus lebih tanggap dan cerdas, bahwa jika sampai terjadi anarki pada setiap aksi unjuk rasa, berarti ada saluran komunikasi yang “tidak normal”, khususnya antara pemerintah dan buruh. Mestinya energi pemerintah terfokus disitu, bukan sebaliknya menggunakan Polri untuk mempertebal sumbatan tersebut.

Kedua, terbuka kemungkinan Polri mengulangi kesalahan dan kekurangan dalam penanganan aksi menentang kenaikan BBM. Bahwa akibat pendekatan dan penggunaan kekuatan berlebih, justru memantik kekerasan, selain itu beberapa pengalaman diatas membuktikan bahwa Polri tidak konsisten dalam menjalankan seluruh prosedur tetap dan peraturan Kapolri sebagai pedoman internal.

Ketiga, Polri kembali mengambil kebijakan aneh, dengan melibatkan TNI tanpa dasar dan aturan yang jelas. Sejauh ini, tidak ada penjelasan terkait urgency pelibatan TNI dalam penanganan aksi unjuk rasa. Sebaliknya, patut kita pertanyakan apakah aksi buruh merupakan bentuk ancaman bagi kedaulatan NKRI? dan apakah buruh sama dengan musuh yang harus dihadapi oleh tentara? Disinilah pangkal masalahnya.

Masyarakat sipil, khususnya buruh adalah wujud nyata dari kedaulatan rakyat, terlebih di 1 Mei. Semestinya jika pemerintah konsisten menjalankan negara demokrasi harusnya “tidak alergi” dengan gerakan buruh. Melalui wajah pengamanan yang jauh dari semangat mengayomi tersebut, pemerintah justru menunjukkan pemisahan diri dan berdiri berhadapan untuk menghadang aspirasi para buruh.

Kami berharap, catatan buruk tersebut mampu melecut Polri untuk menyiapkan perencanaan dan kajian yang lebih matang dalam mengawal aksi unjuk rasa. Pendekatan persuasif dan negosiatif harus tetap dikedepankan oleh Polri. Hendaknya semangat mengamankan harus digantikan dengan semangat memfasilitasi dan mengayomi para buruh yang sedang berdemonstrasi (dijamin konstitusi), bukankah semangat ini telah tertanam dan menjadi komitmen Polri dalam program pemolisian masyarakat, sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Kapolri No 7 Tahun 2008 tentang strategi dan pedoman dasar pemolisian masyarakat.

Hari buruh adalah ujian kesekian bagi insitusi Polri, sekaligus membuktikan sejauh mana kesungguhan dan kemauan Polri untuk berkontribusi dalam menjunjung tinggi demokrasi dan Hak Asasi Manusia, sebagaimana ditegaskan kembali dalam rapat pimpinan (Rapim) Polri (29/1/2012). KontraS akan melakukan pemantauan terhadap aksi buruh 1 Mei. Selamat hari Buruh 2012.

Jakarta, 30 April 2012
Badan Pekerja,

Haris Azhar,SH, MA
Koordinator