Kekerasan di Papua Dibiarkan Berlanjut

JAYAPURA, KOMPAS.com – Terus berulangnya peristiwa penembakan di Papua selama dua-tiga tahun terakhir mengindikasikan adanya pembiaran terhadap aksi kekerasan di wilayah itu. Fakta itu tak sejalan kebijakan membangun Papua dengan damai.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar di Jakarta, Kamis (7/6), menyatakan kecewa dengan sistem keamanan di Papua. �Polisi dan pemerintah tidak hanya gagal menjamin rasa aman masyarakat, tetapi juga tidak pernah memberikan kepastian hukum, seperti menangkap pelaku penembakan gelap dalam tiga tahun terakhir,� katanya.

Haris khawatir terjadi pengambinghitaman kelompok separatis melalui tuduhan-tuduhan semata dan diikuti dengan penangkapan serampangan. Pertanyaan mendasar adalah siapa yang mampu melakukan kekerasan, teror, dan pembunuhan misterius secara konstan seperti dalam beberapa hari terakhir? �Peristiwa demi peristiwa ini merendahkan kehadiran aparat keamanan di Papua,� katanya.

Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, kemarin, di Jakarta, menilai, makin seringnya penembakan di Papua belakangan ini merupakan bentuk teror. Hal itu meresahkan masyarakat. Namun, masyarakat Papua diminta tidak terpancing dan terprovokasi agar tidak timbul dampak yang tak diinginkan.

Menurut Julian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memerintahkan Polri agar segera menyelidiki berbagai peristiwa kekerasan di Papua dan memproses pelakunya secara hukum. Namun, masalahnya, menurut Julian, upaya penangkapan pelaku terkendala situasi dan kondisi geografis di Papua yang berat.

Pernyataan dari Istana Presiden tersebut disanggah oleh Koordinator Jaringan Papua Damai Neles Tebay. Alasan tentang beratnya medan dan geografis Papua yang menyulitkan pengusutan aparat tidak realistis. Sebab, penembakan tidak lagi di areal hutan, gunung, dan lembah, tetapi sudah sampai perkotaan.

Neles menilai, tidak tuntasnya pengusutan kasus-kasus penembakan di Papua dapat menimbulkan keraguan masyarakat terhadap komitmen pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan masalah Papua dengan dialog damai.

�Ketidakjelasan ini juga menimbulkan sikap saling curiga, terutama masyarakat terhadap aparat keamanan,� kata Neles.

Korban berjatuhan

Dari 2009 hingga pertengahan 2012 terus terjadi aksi kekerasan bersenjata di Papua yang menelan korban 41 orang, baik sipil maupun aparat keamanan.

Berdasarkan catatan Kompas, khusus 2011-2012, korban warga sipil mencapai 26 orang dan aparat 14 orang.

Belum tuntas pengusutan kasus terdahulu, muncul lagi kasus baru, seperti yang terjadi di Kota Jayapura dan Wamena, Rabu-Kamis. Kejadian di Jayapura menewaskan Teyu Tabuni, warga Dok V Kota Jayapura. Adapun di Wamena menewaskan Eli Yoman.

Menurut keterangan Kepala Polres Kota Jayapura Ajun Komisaris Besar Alfred Papare, penembakan diawali dengan penertiban terhadap pemuda yang mabuk-mabukan di dekat jembatan Dok V. Saat polisi tiba dan hendak memeriksa mereka, termasuk Teyu, para pemuda itu menolak diperiksa. Sempat terjadi adu mulut, apalagi polisi melihat mereka membawa pisau dan tulang kasuari yang telah diruncingkan.

Menolak diperiksa, Teyu lari. Menurut Alfred Papare, polisi kemudian melepaskan tembakan peringatan. Awalnya, Teyu diduga tewas karena terjatuh dan membentur batu sewaktu melompati jembatan. Namun, dalam pemeriksaan di Rumah Sakit Dok II Jayapura, ditemukan serpihan logam di tengkuknya. Diduga, serpihan itu berasal dari peluru yang ditembakkan polisi.

Menurut warga setempat yang dihubungi, setelah kematian Teyu, keluarga korban dan kerabat menutup jalan di Dok V. Mereka meminta pertanggungjawaban aparat atas kejadian itu.

Dari Wamena dikabarkan, seorang warga, Eli Yoman, ditemukan meninggal pascapenyisiran anggota Yonif 756, Rabu petang hingga malam, menyusul tewasnya seorang anggota TNI akibat bentrok dengan warga di Honai Lama.

Belum diketahui pasti penyebab kematian Eli. Beberapa warga yang dihubungi mengatakan, sejumlah anggota Yonif 756 turun ke kota Wamena pasca-kematian rekan mereka, Pratu Ahmad Ruslan, Rabu siang. Sepanjang Rabu malam hingga Kamis pagi, warga mendengar beberapa kali suara tembakan. Beberapa honai (rumah tradisional) milik warga juga terbakar.

Wakil Ketua DPR Papua Yunus Wonda menilai, rangkaian kejadian itu membuat situasi di Papua makin tidak nyaman. Kekerasan bersenjata telah menghantui wilayah perkotaan, seperti Kota Jayapura, ibu kota provinsi Papua.

Menurut dia, perlu dukungan semua pihak untuk dapat menghentikan semua kekerasan dan konflik di Papua.

Masih dirawat

Terkait penembakan terhadap Arwan, PNS Kodam XVII Cendrawasih, Kepala Penerangan Kodam XVII Cendrawasih Kolonel Ali H Bogra meralat pemberitaan Kompas, Kamis (7/6/2012). Diberitakan Aswan meninggal saat dilarikan ke rumah sakit setelah ditembak orang tak dikenal di dekat Kantor Wali Kota Jayapura. Menurut Ali, korban kini masih dirawat di Ruang ICU Rumah Sakit Marten Indey.

Secara terpisah, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengecam keras maraknya aksi penembakan di Papua. Baik itu penembakan terhadap warga negara asing, masyarakat sipil, maupun anggota TNI.

Rangkaian kejadian itu, menurut Djoko, tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk membangun Papua dengan damai.

�Aparat harus bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan seperti ini. Segera cari pelakunya untuk dibawa ke pengadilan,� kata Djoko.

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution mengatakan, ciri pelaku penembakan terhadap Arwan di Jayapura, Rabu malam, adalah berambut keriting cepak dan memakai tas selempang. Namun, aparat kepolisian belum dapat memastikan apakah pelaku cukup profesional dalam menembak sasaran.(JOS/ATO/FER/ONG/EDN/NAR)