DUKUNGAN TERHADAP KORBAN PENYIKSAAN

DUKUNGAN TERHADAP KORBAN PENYIKSAAN
26 Juni 2012

Tanggal 26 Juni 1987 dimana Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia ditandatangani (Konvensi). Momen ini kemudian  diperingati sebagai Hari Internasional untuk Mendukung Korban-Korban Penyiksaan (International Day in Support of Victims of Torture), hal ini ditujukan untuk memberikan solidaritas kepada mereka yang pikiran, badan atau jiwanya pernah mengalami penyiksaan. Indonesia sebagai salah satu Negara peserta di konvensi ini, sudah sepantasnya turut serta mengambil bagian dalam perayaan yang dirayakan para pejuang anti penyiksaan sedunia ini. 

Hari ini, 26 Juni 2012, tepat  25 tahun semenjak konvensi ditandatangi dan 14 tahun silam Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut kedalam hukum Indonesia. Dengan usia  peraturan dimaksud, fakta menyatakan masih terjadi penyiksaan, padahal cita-cita dan semanagat dari konvensi dimaksud adalah zero tolerance. Selama Januari-April Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mencatat ada 22 kasus penyiksaan dalam tahanan. Dari 22 kasus penyiksaan ini, 12 kasus dilakukan polisi, 5 kasus dilakukan petugas Rutan dan 4 kasus dilakukan tahanan lain. Catatan Kontras, Periode Juli 2011-Juni 2012 terdapat 86 dugaan peristiwa penyiksaan dengan jumlah 243 korban. Sementara itu untuk kategori dugaan pelakunya pada periode ini tercatat aparat Polri sejumlah 14 peristiwa, TNI sejumlah 60 peristiwa, dan sipir penjara sebanyak 12 peristiwa. Sementara menurut peneltian LBH Jakarta, Penelitian yang dilakukan LBH Jakarta, pada tahun 2008 di wilayah hukum Polda Metro Jaya terdapat  83,65 % dari 367 responden menyatakan bahwa pada saat berada di tingkat kepolisian telah mengalami kekerasan, baik pada saat penangkapan dan pemeriksaan. Di tahun 2010, saat pemeriksaan : di wilayah Banda aceh terdapat 81,2 %; Lhoksumawe 86,7 %; Jakarta 65,3%; Makasar 67,1%, dan Surabaya 97,9%. Sedangkan tahun 2011 di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura dimana 61% dari seluruh responden, mengalami penyiksaan fisik oleh Polisi pada saat penangkapan, 47% mengalami penyiksaan fisik pada saat pemeriksaan, 31% pada saat penahanan.

Maraknya kasus penyiksaan diperparah lagi dengan tidak ditempuhnya upaya hukum untuk mengkriminalisasi atau menghukum pelaku penyiksaan ditambah belum diratifikasi Optional Protokol Konvensi Menentang Penyiksaan sebagai sarana preventif untuk mencegah penyiksaan merupakan kondisi yang semakin memperburuk keadaan kasus-kasus penyiksaan. Mirisnya lagi, pelaku penyiksaan semakin melanggeng dengan karier yang cemerlang dan menduduki jabatan-jabatan strategis. Padahal pelaku penyiksaan yang menduduki  jabatan strategis akan mengfungsikan jabatannya untuk menghalang-halangi proses pertanggung jawaban agar tidak ditarik untuk diperiksa di Pengadilan Umum. Dan sebaliknya, perjuangan para korban penyiksaan untuk menuntut hak-haknya kepada Negara selama ini diabaikan, dan ini membuktikan matinya  keadilan bagi korban.

Atas hal tersebut, Maka Jaringan Anti Penyiksaan menyatakan :

  1. Hentikan seluruh bentuk penyiksaan saat ini juga;
  2. Meratifikasi Opsional Protokol Konvensi Anti Penyiksaan dan membuka akses terhadap setiap ruang tahanan pada seluruh tingkatan peradilan pidana;
  3. Membuat peraturan bahwa penyiksaan sebagai tindakan kejahatan;
  4. Melakukan penegakan hukum terhadap pelaku pada peradilan umum;
  5. Memenuhi hak-hak korban seperti restitusi dan reparasi

Demikian kami sampaikan.

Hormat Kami.

Jaringan Anti Penyiksaan Indonesia (JAPI)