Penangkapan Sewenang-wenang Polisi Warnai Pengaduan Kontras

JAKARTA: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan praktik penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian mendominasi aduan yang diterima selama setahun terakhir yakni 20 kasus.

Ini terutama terkait dengan konflik agraria dan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu lalu.

Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan dalam setahun terakhir, tindakan kekerasan yang mengemuka dari kepolisian adalah sikap represi Polri dalam menyikapi aksi BBM serta konflik-konflik agraria.

Dia memaparkan praktik kekerasan elementer sesungguhnya bisa dihindari jika personel lapangan tetap tunduk dan patuh pada sejumlah ketentuan internal. Kritik Kontras itu disampaikan menjelang peringatan Hari Bhayangkara ke-66 oleh Polri pada 1 Juli 2012.

Catatan pengaduan Kontras menyatakan terdapat pengulangan sejumlah model praktik kekerasan oleh aparat kepolisian. Ini terdiri dari praktik penyiksaan (14 pengaduan), penggunaan kekuatan senjata api secara berlebihan (11 pengaduan), pembubaran kegiatan secara damai (7 pengaduan), penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (20 pengaduan), dan pembiaran tindak kekerasan dari kelompok-kelompok intoleran terhadap kelompok minoritas (8 pengaduan).

"Kontras mendesak Kapolri agar mengvaluasi komprehensif berkenaan dengan mengemukanya persoalan-persolan penting di masyarakat yang menempatkan Polri tetapi justru menjadi bagian dari persoalan tersebut, seperti dalam konflik agraria, kebebasan beragama dan beribadah," ujar Haris dalam siaran pers yang dikutip Sabtu (30/06/2012).
Tak hanya itu, organisasi pemantau HAM tersebut juga mendesak agar Kapolri mengevaluasi perlindungan keamanan di wilayah rawan konflik seperti Aceh dan Papua. Haris mengatakan temuan Kontras menunjukkan bahwa ada jarak yang lebar antara kebijakan internal Polri dengan kemampuan yang dimiliki oleh personel lapangannya, di antaranya Perkap HAM Nomor 8/2009.

"Namun kebijakan tersebut tidak didukung perilaku individual para personil, minimnya keterampilan penggunaan kekuatan senjata api dan investigasi modern," kata Haris. " Selain itu soal kesediaan anggaran investigasi, menguatnya praktik impunitas , hingga ketiadaan aturan hukum yang mampu mengkriminalisasikan para pelaku penyiksaan."

Kontras menilai reformasi dalam tubuh Polri tentu membutuhkan waktu yang panjang dan komitmen yang kuat dari Kapolri dan institusi Polri sendiri. Haris mengungkapkan tentunya harus didukung lewat komitmen politik Presiden, pemerintah dan DPR untuk tidak mempolitisir insitusi ini demi kepentingan praktis semata. Kontras menegaskan jika Polri secara institusional membiarkan dirinya di bawah kontrol kepentingan subjektif eksekutif, maka Polri akan menjadi bagian dari ancaman untuk demokrasi di Indonesia.