Kegiatan Sekolah HAM untuk Mahasiswa (SeHAMA) IV, 23 Juni-13 Juli 2012

Selama 3 minggu penuh, 28 mahasiswa dari berbagai tempat di Indonesia (dengan berlatar kampus, etnik, budaya dan keyakinan yang beragam) Timor-Leste mengikuti kegiatan Sekolah HAM untuk Mahasiswa (SeHAMA) IV yang diselenggarakan oleh KontraS. Mereka mengikuti kegiatan SeHAMA yang sangat variatif, mulai dari mengikuti kuliah kelas yang diberikan para narasumber, kunjungan lapangan ke berbagai institusi negara dan internasional, kunjungan ke Mesjid Istiqlal dan Gereja Katedral, mengikuti lokakarya bagaimana menggunakan media sosial populer di kalangan muda sebagai medium kampanye HAM, ikut aksi Kamisan di depan Istana Presiden, tinggal bersama dengan berbagai komunitas korban pelanggaran HAM (mulai dari komunitas punk hingga tidur di kolong jembatan), berdiskusi dengan komunitas LGBT, dan berbagai games, kompetisi, olahraga, meditasi psikologis, dan camping di Taman Nasional Gunung Gede di kampung Sarongge, Cianjur yang semuanya ditujukan untuk memperkuat pemahaman, ketrampilan, dan keberpihakan pada isu HAM universal.

Berbagai variasi metode pendidikan di atas disiapkan agar para mahasiswa bisa memahami berbagai materi dasar HAM yang penting untuk konteks di Indonesia, yaitu: teori dan konsepsi tentang HAM, HAM sebagai instrumen dan mekanisme hukum internasional, mengenal keterampilan advokasi berbasis HAM, membangun ‘sense’ dan perspektif HAM yang berorientasi pada korban, mengenal persoalan keadilan transisional, mengenal reformasi sektor keamanan, mengenal konsep dasar kebebasan beragama dan berkeyakinan

Semua peserta selama kegiatan (3 minggu penuh) tinggal di Wisma KontraS untuk menguji apakah materi yang diberikan di kelas juga dipraktekan secara langsung oleh para mahasiswa. Mereka diharuskan untuk mengelola ‘tinggal bersama’ secara kolektif dengan interaksi intensif bersama kawan-kawan lainnya yang memiliki ‘perbedaan’, mulai dari mengelola tempat tinggal, masak bersama, dan menyelesaikan berbagai tugas kelompok lainnya.

Tiga minggu dilalui secara bersama dengan berbagai dinamika; kunjungan ke tempat-tempat ibadat dan diskusi dengan kyai dan pastor menjadi ajang belajar memahami ‘keyakinan yang lain’; nonton film di Kineforum dan diskusi dengan komunitas aktivis LGBT ternyata mengasyikan meski kebanyakan mahasiswa masih asing dengan isu ini;

kompetisi mencari situs-situs kekerasan di Jakarta membuat para peserta -khususnya dari luar Jakarta- sedikit memahami tidak hanya bangunan fisik tetapi juga sedikit watak orang-orang Jakarta; workshop memahami fungsi sosial media sebagai alat kampanye bersama para pekerja budaya dan Glenn Fredly menyadarkan peserta bahwa kampanye HAM bisa juga bersifat populer dan ‘fun’; kunjungan ke Kedutaan Besar Swiss selain menjadi pengalaman pertama semua mahasiswa juga menyenangkan karena pulangnya mendapat banyak suvenir menarik dari mereka; juga terdapat sesi yang mengharukan di mana sebagian peserta memberikan testimoni kecil pengalaman langsung ‘terlibat’ dalam konflik bernuansa agama; tidak semua sesi ‘menyenangkan’ karena sebagian dari mereka harus tidur di kolong jembatan, di atas rawa dengan genangan sampah, dan tinggal di kawasan kumuh Jakarta hanya untuk bisa melihat, mendengar, merasakan, dan ‘mencium’ apa itu masalah HAM dari para komunitas korban; aksi Kamisan di depan Istana terasa istimewa karena mereka berhadap langsung dengan simbol negara yang harusnya menjalani kewajiban HAM di negeri ini; sesi pengendalian diri lewat teknik-teknik unik dengan pendekatan psikologi membuat 3 minggu penuh terasa sangat cepat; camping di Taman Nasional Gunung Gede di kampung Sarongge menjadi penutup kegiatan meski dirasa terlalu singkat di sana, dan acara penutupan yang diisi oleh performa dari Efek Rumah Kaca dan Meng Float lumayan mengurangi rasa sedih karena harus berpisah dengan kawan-kawan baru. Meski materi dan metode dalam SeHAMA begitu beragam, namun guru terpenting dalam kegiatan ini adalah kawan-kawan mereka sendiri yang susah senang menjadi sumber pengetahuan, motivator, pelipur lara, sparing partner dalam berdiskusi dan berdebat, hingga pembuat tertawa karena melucu.

Menurut para peserta, kegiatan SeHAMA ini jauh melebihi ekspektasi mereka dan tiga minggu berarti menjadi modal awal mereka untuk bisa menjadi para ‘pembela HAM’ di tempat masing-masing terlepas setelah lulus mereka akan memilih suatu profesi apa pun. KontraS mengucapkan selamat bagi para peserta yang telah menempuh secara baik seluruh proses SeHAMA IV ini dan berharap mereka bisa menjadi virus-virus baru pembawa perdamaian, toleransi, dan solidaritas bagi semua orang.

Selamat bertemu untuk kegiatan SeHAMA di tahun depan, KontraS mengundang semua mahasiswa lain untuk bergabung!