Putusan PN Sampang Ancam Kebebasan Beragama

Tindak kekerasan yang menimpa kelompok Syiah di Sampang, Jawa Timur pada akhir tahun lalu berbuntut diadilinya salah satu tokoh Syiah Jawa Timur, Tajul Muluk. Pada pertengahan Juli lalu majelis hakim Pengadilan Negeri Sampang yang dipimpin Purnomo Amin Cahyo, memvonis Tajul dua tahun penjara karena dinyatakan terbukti melakukan penodaan agama.

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Andi Irfan menyatakan putusan hakim didasarkan pada keterangan saksi yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU). Dari dua saksi yang dihadirkan, satu diantaranya mempunyai hubungan keluarga dengan Tajul sehingga tidak disumpah sebelum bersaksi.

Para saksi yang diajukan itu, Andi melanjutkan, menyebut Tajul dalam berdakwah menyatakan Al-Quran yang digunakan umat Islam tidak asli. Hal itu langsung dibantah Tajul dan saksi lainnya dalam persidangan yang menyatakan Al-Quran yang diyakininya sama seperti Al-Quran yang digunakan umat Islam pada umumnya.
Sayangnya majelis hakim tidak mempertimbangkan pernyataan Tajul dan sejumlah saksi lainnya tersebut. Padahal mereka telah memberikan pernyataan di bawah sumpah. â??Keterangan Ustad Tajul dan saksi-saksi yang membantah soal itu tidak diterima hakim karena dianggap bertaqiyah (berbohong),â? kata Andi dalam pesan singkat kepada hukumonline, Senin (16/7).

Terpisah, Kadiv Advokasi Hukum dan HAM KontraS, Sinung Karto, mengatakan jauh sebelum persidangan diadakan, KontraS sudah memperingati pihak terkait agar persidangan tidak digelar di Sampang. Pasalnya, kondisi Sampang tidak memungkinkan untuk menjamin persidangan dapat berjalan baik. Karena Sinung melihat terdapat kekuatan politik yang besar yang melawan Tajul.

Jika aparat penegak hukum berani menghukum Tajul, Sinung heran kenapa para pelaku tindak kekerasan yang melakukan penghancuran dan pembakaran sejumlah aset yang dimiliki komunitas Syiah di Sampang tidak ditindak tegas. Sekalipun ada yang ditindak, tingkat hukumannya menurut Sinung tidak memenuhi rasa keadilan bagi para korban. Sinung khawatir pasca putusan Tajul ancaman terhadap kebebasan beragama di Indonesia akan semakin besar.

Sementara aktivis LBH Jakarta, Febionesta, mengatakan putusan PN Sampang atas Tajul menambah deret panjang daftar penodaan kebebasan menganut keyakinan beragama di Indonesia. Dari berbagai kasus terkait kelompok agama minoritas yang ditangani LBH Jakarta, Febionesta menyebut kelompok minoritas biasanya menjadi korban dan dikriminalisasi.

Atas dasar itu Febionesta melihat dalam pelanggaran kebebasan beragama, negara bukan hanya membiarkan tapi sebagai pelaku aktif pelanggaran. Padahal dalam ketentuan Kovenan Hak Sipil dan Politik disebutkan bahwa koersi dilarang. Oleh karenanya kebebasan beragama setiap orang dijamin. Namun dengan memidanakan Tajul maka negara telah melanggar kovenan yang telah tertuang dalam UU No.12 Tahun 2005 tersebut.

Bagi Febionesta putusan itu menjadi preseden buruk, sehingga kebebasan beragama terancam. Karena putusan itu dapat digunakan untuk menakut-nakuti penganut Syiah. â??Secara tak langsung memaksa kelompok Syiah untuk melepaskan keyakinannya,â? ujarnya.

Selain itu Febionesta juga mencermati jika hakim menggunakan tuduhan berkecenderungan fitnah dalam menghasilkan putusan maka hal ini dapat berbahaya dalam praktik hukum di Indonesia. Misalnya pertimbangan putusan hakim dalam kasus Tajul, Febionesta melihat Tajul dituduh menyebut Al-Quran umat Islam palsu.

Padahal Tajul dan sejumlah saksi telah membantahnya, tapi majelis hakim tidak menghiraukan pernyataan Tajul dan saksi lainnya. Febionesta khawatir putusan berdasarkan tuduhan seperti yang dialami Tajul akan menjadi tren bagi pengadilan untuk memutus dalam perkara sejenis.

Menurut Febionesta tuduhan terhadap Tajul itu untuk memprovokasi kelompok Islam mayoritas sehingga kelompok Syiah diserang. Padahal penasehat hukum Tajul, sejumlah saksi dan Tajul sendiri berpendapat Al-Quran yang mereka gunakan untuk berdakwah itu terbitan Departemen Agama, sebagaimana Al-Quran yang digunakan umat Islam lainnya di Indonesia.

â??Tuduhan itu sudah terbantah lewat fakta di persidangan, tapi majelis hakim tetap menggunakan tuduhan itu dan menjatuhkan vonis terhadap Tajul. Jadi majelis hakim melegitimasi tuduhan itu,â? kata Febionesta.

Febionesta khawatir masyarakat dalam melihat putusan itu menganggap bahwa tuduhan terhadap Tajul benar terjadi, yaitu menyebut Al-Quran yang digunakan umat Islam tidak otentik. Jika hal ini muncul Febionesta melihat umat Syiah berpotensi mendapat serangan kembali dari kelompok mayoritas. Hal serupa menurut Febionesta juga akan terjadi menimpa kelompok agama minoritas lainnya.

Dari pantauannya selama ini, metode yang sama juga dilakukan terhadap kelompok minoritas lainnya, contohnya Ahmadiyah. Dimana terdapat kelompok yang menuduh Ahmadiyah menunaikan haji ke India, syahadatnya berbeda dengan umat Islam dan lain-lain. Metode ini menurut Febionesta hanya untuk meningkatkan sentimen anti Ahmadiyah. Hal serupa dialami oleh kelompok Syiah di Sampang.

Sementara aktivis Human Right Working Group (HRWG), Syaiful Anam, mengingatkan dalam Sidang Tinjauan Periodik Universal (UPR) Dewan HAM PBB pemerintah Indonesia dicecar soal penegakkan HAM. Berbagai kritisi yang dilontarkan berbagai negara itu salah satunya soal kebebasan beragama.

Dalam menindaklanjuti kasus yang menimpa Tajul, Anam mengatakan pemerintah dapat melakukan beberapa langkah untuk menjaga toleransi dan kebebasan beragama. Diantaranya, Presiden harus memerintahkan Polri untuk menjaga keamanan di Sampang. Sehingga tidak ada kelompok manapun yang melakukan penyerangan.

Selain itu Anam menyebut Presiden punya kewenangan untuk meringankan vonis yang dijatuhkan kepada Tajul. Langkah selanjutnya menurut Anam Departemen Agama harus menyatakan secara resmi bahwa Syiah tidak sesat. Anam juga mengingatkan bahwa organisasi kerjasama Islam (OKI) menyatakan dalam resolusi bahwa Syiah tidak sesat. â??Iran menyatakan diri sebagai negara berdasarkan Islam Syiah. Kalau Syiah disebut sesat kenapa Iran diterima menjadi anggota OKI?â? tutur Anam.

Anam melihat MUI Sampang menerbitkan fatwa yang menyatakan Syiah sebagai ajaran sesat. Menurutnya, Menteri Agama harus secepatnya mengoreksi fatwa tersebut. Untuk menjamin toleransi dan kebebasan beragama serta berkeyakinan Anam menyebut KUHP harus segera direvisi, terutama pasal 156a KUHP. â??Pasal itu mengancam kebebasan beragama,â? pungkasnya.