Kontras Desak Pemerintah Segera Selidiki Peristiwa 1965

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mengatakan laporan Komnas HAM mengenai peristiwa 1965 dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi korban.

Temuan Komnas HAM juga dapat membawa perubahan dalam pelurusan sejarah melalui pengakuan atas berbagai praktik kekerasan di masa lalu, terutama di masa rezim Orde Baru.

Koordinator Kontras Haris Azhar merekomendasikan agar presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mengeluarkan keppres pembentukan pengadilan Ad-Hoc sehingga Kejaksaan Agung tanpa penundaan dapat melakukan penyidikan atas laporan penyelidikan awal Komnas HAM.

"DPR juga diharapkan dapat melakukan pengawasan yang efektif kepada jaksa agung dan pemerintah serta presiden bisa segera mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menyusun kebijakan pemulihan bagi korban sesegera mungkin," ujar Haris, Rabu (25/7).

Dia menambahkan Komnas HAM harus segera menyerahkan laporan yang ada secara langsung kepada Presiden dan DPR dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sehingga dapat memaksimalkan dukungan pemulihan korban dengan mengacu pada laporan hasil penyelidikan Komnas HAM.

Haris menambahkan, tindak lanjut atas kasus ini harus segera diambil, salah satunya karena usia para korban yang sudah berada di atas angka harapan hidup Indonesia (di atas 67 tahun).

"Saat ini, rata-rata korban yang ada telah berusia di atas 75 tahun dan setiap bulannya dalam dua tahun terakhir ada lima hingga enam orang yang meninggal," ujar Haris.

Selain itu, diharapkan penyelidikan dapat dimulai tanpa menunggu dibentuknya Pengadilan Ad-Hoc.

"Masih banyak perlakuan diskriminatif terhadap korban-korban ini sehingga tindak lanjut harus segera dilakukan. Hasil Komnas HAM tidak perlu menunggu hingga adanya proses pengadilan (Ad-Hoc)," tutur Haris kembali.

Momen masuknya laporan penyelidikan ini sebagai dokumen negara juga dianggap Haris sebagai kejadian bersejarah yang akan berpengaruh besar di masa depan.

"Ini menjadi pertama kalinya peristiwa (pelanggaran HAM massal pada 1965-1967 lalu) masuk sebagai dokumen negara. Suatu hari ketika Indonesia telah masuk pada rezim pemerintahan yang demokratis, dokumen ini pasti akan dibuka lagi (untuk diusut lebih lanjut," ujar Haris.