Korban 65: Film Pengkhianatan G30S/PKI Pembohongan Publik

JAKARTA, KOMPAS.com – Para korban tragedi kemanusiaan 1965 mengemukakan bahwa film Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noer dan Monumen Lubang Buaya Pancasila Sakti adalah bentuk pembohongan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru atas kehendak Soeharto. Film dan monumen tersebut adalah bentuk propaganda yang memutarbalikkan fakta di balik tragedi kemanusiaan 1965 yang menurut penyelidikan Komnas HAM termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.

"Film G30S PKI itu adalah fiksi dan mengandung pembohongan pada masyarakat karena berangkat dari skenario sutradara (Arifin C. Noer), film yang murni menceritakan kejadian sesungguhnya dibalik tragedi kemanusiaan 65 adalah film dokumenter. Sedangkan monumen Lubang Buaya (monumen Pancasila Saksi) juga sama karena berdasarkan hasil visum tidak ada itu yang namanya jendral disilet-silet oleh Gerwani,"ujar Putu Oka Sukanta, korban 65 dan Sastrawan Lekra di masa Orde Lama di kantor Kontras, Jakarta, Rabu (25/7/2012).

Putu Oka turut menjelaskan bahwa monumen dan film tersebut tidak seharusnya untuk dihancurkan, seperti yang telah dilakukan Orde Baru dalam merenovasi total atau menghancurkan bangunan asli Lapas Salemba dan Bukit Duri untuk menutupi jejak kejahatan kemanusiaan atas korban 1965. Film dan monumen tersebut meskipun mengandung pembohongan terhadap publik cukup dijadikan bahan pelajaran bahwa rakyat Indonesia sudah dibohongi oleh Orde Baru.

Pemerintah Indonesia, menurut Putu, harus segera membuat monumen pelanggaran Kemanusiaan 1965 di dalam monumen Pancasila Sakti yang memuat kekejaman rezim Orde Baru terhadap rakyat Indonesia yang dituduhkan simpatisan PKI dan underbow-nya tanpa disertai pembuktian lewat jalur hukum.

Monumen tersebut berisi mengenai diorama. Dari hasil penyelidikan Komnas HAM menyebutkan ada sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Kopkamtib dibawah komando Soeharto yang meliputi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa terhadap para korban 1965 di seluruh Indonesia minum Papua.

Mengenai film sendiri, pemerintah harus mengedepankan film yang berisi tentang peristiwa yang sesungguhnya terjadi yaitu pelanggaran HAM berat terhadap korban 1965. Film tersebut harus dapat menjangkau lapisan masyarakat dari tingkat bawah hingga yang paling atas demi pemulihan nama baik korban dan proses pelurusan sejarah yang selama ini dibelokkan oleh Orde Baru.

Hal itu tentunya, lanjut Putu, membutuhkan hasil analisis yang objektif dari para sejarawan dengan mengumpulkan banyak bukti mengenai yang sesungguhnya terjadi dengan beranjak pada penyelidikan Komnas HAM. "Kita tidak dapat menyalahkan zaman (Pembohongan Publik Orde Baru). Yang ada kita menerima zaman itu menjadi bahan pembelajaran," tambahnya.

Ketujuh pahlawan revolusi yang dibunuh menurut hasil visum et repertum dr. Arif yang bernama asli Lim Joe Thay, dr. Brigjen Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat), dr. Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat), dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman dan profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), dan dr. Liau Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI) mengemukakan hasil bahwa para korban itu jelas mati dibunuh dengan tembakan pasukan Cakrabirawa.

Dari hasil otopsi yang mereka lakukan sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda pencungkilan bola mata, penyiletan atau apalagi, pemotongan alat kelamin oleh anggota Gerwani seperti diberitakan oleh media massa yang dikuasai Angkatan Darat ketika itu, Berita Yudha.

Mengenai hasil visum tersebut, Benedict Anderson dari Cornell University telah menyalin ulang visum et repertum itu dalam artikelnya, How Did the Generals Die? di jurnal Indonesia edisi April 1987. Artikel Ben Anderson ini membuat pemerintahan Soeharto marah besar, dan sejak itu Ben Anderson diharamkan menginjakkan kaki di Indonesia.