Presiden Minta Kasus 1965-1966 Dituntaskan

JAKARTA, KOMPAS.com – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan Kejaksaan Agung RI menindaklanjuti kesimpulan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bahwa ada cukup bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.

"Apa yang disampaikan Komnas HAM tentu akan dipelajari oleh Jaksa Agung. Dan pada saatnya, karena ini menyangkut masa lalu, saya juga berharap bisa berkonsultasi dengan lembaga negara lain, seperti DPR, DPD, MPR, Mahkamah Agung, dan semua pihak," kata Presiden seusai menggelar Sidang Kabinet di Kejagung, Jakarta, Rabu (25/7/2012).

Presiden mengatakan, pemerintah tak ingin memiliki hutang sejarah kepada rakyat Indonesia. Negara memiliki kewajiban moral dan juga visi politik untuk menyelesaikan semua kasus yang terjadi di Indonesia dengan seadil-adilnya, dan setepat-tepatnya. Terlebih, jika kasus tersebut berkaitan dengan pelanggaran HAM berat.

Terkait cara penyelesaiannya, Kepala Negara tidak mengelaborasinya secara gamblang. Ada banyak cara untuk menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM. "Saya mempelajari negara-negara lain, seperti Afrika Selatan, Kamboja, Bosnia. Ternyata modelnya berbeda-beda. Solusinya beda-beda, walaupun ada solusi yang bisa diterima oleh semua pihak," kata Presiden.

Di antara solusi tersebut, Kepala Negara menyebut solusi sistem hukum (justice system), sistem kebenaran (truth system), dan sistem kebenaran dan rekonsiliasi (reconciliation and truth system). "Kita harus jernih, jujur, dan objektif melihat apa yang terjadi di masa lalu, sebagaimana kita harus jujur pada saat ini dan ke depan. Kita tidak akan memutarbalikkan sejarah dan fakta," kata Presiden.

Sebelumnya, Kejaksaan mengatakan membutuhkan pengadilan HAM ad hoc untuk menyidik kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum 2000, termasuk dugaan pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966. Pengadilan ad hoc diperlukan untuk meminta izin melakukan penggeledahan, penyitaan, dan upaya paksa selama proses penyidikan.

"Untuk kasus yang terjadi sebelum adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, diperlukan adanya pengadilan HAM ad hoc," kata Jaksa Agung Basrief Arief di Jakarta, Selasa (24/7/2012).

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Albert Hasibuan, mengungkapkan, apa yang disimpulkan Komnas HAM merupakan jalan masuk bagi Wantimpres untuk menyusun konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat. Konsep ini nantinya akan disampaikan ke Presiden.

Terkait kasus tersebut, Komnas HAM juga merekomendasikan hasil penyelidikan dapat diselesaikan melalui mekanisme nonyudisial demi terpenuhinya rasa keadilan bagi korban dan keluarga.