Pengaduan atas terhadap pernyataan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso

Hal : Pengaduan atas terhadap pernyataan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso
Lamp : Berita media massa

Kapada Yang Terhormat,
Dr. Muhammad Prakosa
Ketua Badan Kehormatan DPR RI
Di-
Tempat

Dengan hormat,

Kami, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama korban dan keluarga korban Pelanggaran HAM berat masa lalu dari berbagai kasus atau peristiwa bermaksud membuat pengaduan atas tindakan yang melanggar kode etik yang dilakukan oleh Wakil Ketua DPR, Bapak Priyo Budi Santoso dari Fraksi Partai Golkar.

Priyo Budi Santoso menyatakan,

“Itu tidak produktif. Membuka sejarah lama tak akan selesai. Kita lihat saja ke depan. Saya khawatir kalau dibuka kembali akan menimbulkan reaksi yang tak enak,”

"Jangan berkutat pada persoalan yang lama,"

Pernyataan diatas dipublikasi pada www.kompas.com, pada 24 Juli 2012 dengan judul “Priyo: Jangan Berkutat pada Peristiwa HAM Masa Lalu”. Diakses pada 25 Juli 2012. Di media lainnya, Priyo juga menyatakan,

“Ini mengenai bangsa kita, bahwa pernah terjadi awan paling gelap bagi penduduk sipil, iya, tapi tidak perlu diungkit sebab itu menimbulkan reaksi yang tidak enak,"

“Membuka sejarah lama ini tidak akan menyelesaikan masalah, nanti zaman Ken Arok juga diungkit. Kita lihat ke depan saja, itu jauh lebih produktif,”

Pernyataan diatas dipublikasi pada www.detik.com pada 24 Juli 2012 dengan judul “Komnas HAM temukan bukti Petrus, Priyo : Nanti zaman Ken Arok Diungkit”.

Kami menyayangkan pernyataan tersebut keluar dari Sdr Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso yang sejatinya justru harus mendukung penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi dimasa lalu sepanjang Republik Indonesia berdiri. Sepatutnya, sebagai wakil ketua DPR justru turut kritis melakukan pengawasan terhadap pemerintah yang tak kunjung meneruskan laporan-laporan kerja penyelidikan oleh Komnas HAM- sebuah komisi negara yang dibentuk oleh UU. Tugas pengawasan ini adalah tugas konsitutisonal DPR terhadap pemerintah. Sebaliknya, kami menyayangkan pernyataan yang tidak sesuai dengan semangat penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

Atas hal ini kami, sampaikan sejumlah argumentasi ketidak tepatan dan pertentangan Sdr. Priyo Budi Santoso dengan aturan hukum yang berlaku sah saat ini;

Sejalan dengan Peraturan DPR RI Nomor: 02 tahun 2011 tentang Tata Cara Badan Kehormatan DPR RI pada Pasal 2 ayat (1) huruf e dinyatakan;“Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas Pengaduan terhadap Anggota DPR RI karena : (e)”melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Tata Tertib dan Kode Etik”.
Mendasarkan pada hal tersebut, kami menyampaikan beberapa alasan dan pertimbangan bahwa pernyataan Priyo Budi Santoso bertentangan dengan kode etik dan Undang-Undang sehingga berpotensi menghambat upaya penegakan hukum dan menghambat upaya korban untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum atas sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, sebagai berikut ;

Pertama, pernyataan tersebut bertentangan dengan kode etik DPR RI secara khusus diatur dalam Peraturan DPR RI Nomor : 01 Tahun 2011 tentang Kode Etik. Beberapa pasal didalam Kode Etik yang dilanggar adalah sebagai berikut;

  • Pasal 2 ayat (2) perihal mementingkan kepentingan umum;”Anggota DPR RI bertanggungjawab mengemban amanat rakyat, melaksanakan tugasnya secara adil, mematuhi hukum, menghormati keberadaan lembaga legislatif, mempergunakan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepadanya demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat,…”
  • Pasal 3 ayat (1), (2) dan (5) perihal integritas;”(1)”Anggota DPR RI harus menghindari perilaku tidak pantas yang dapat merendahkan citra dan kehormatan, merusak tata cara dan suasana persidangan, serta merusak martabat lembaga”. (2)”Anggota DPR RI sebagai wakil rakyat harus menyadari adanya pembatasan-pembatasan pribadi dalam bersikap, bertindak dan berperilaku”.(5)”Anggota DPR RI tidak diperkenankan mengeluarkan kata-kata serta tindakan yang tidak patut/pantas menurut pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat, baik yang didalam gedung DPR RI maupun diluar gedung DPR RI.
  • Pasal 4 ayat (2) dan (3) perihal objektivitas;(2)”Anggota DPR RI dilarang menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi proses peradilan yang ditujukan untuk kepentingan diri pribadi dan/atau pihak lain”. (3)”Anggota DPR RI bersikap adil dan profesional dalam melakukan hubungan dengan mitra kerjanya”.
  • Pasal 5 ayat (3) perihal akuntabilitas; (3)”Anggota DPR RI wajib menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi rakyat kepada pemerintah, lembaga, atau pihak yang terkait secara adil tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, dan gender”.
  • Pasal 9 ayat (2) perihal kepemimpinan;”Anggota DPR RI dalam melaksanakan tugasnya, tidak diperkenankan berprasangka buruk atau bias terhadap seseorang atau suatu kelompok atas dasar alasan-alasan yang tidak relevan, baik dengan perkataan maupun tindakannya.

Kedua, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme hukum adalah kewajiban hukum yang menjadi tanggungjawab negara terutama pemerintah untuk menyelesaikannya secara hukum, sebagai berikut;

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada Bab I perihal bentuk dan kedaulatan pada pasal 1 angka (3) menyatakan “negara indonesia adalah negara hukum” untuk itu setiap persoalan yang telah terjadi di republik ini harus diselesaikan melalui proses hukum sebagai bagian dari amanat UUD 45. selanjutnya diperjelas lagi dalam Pasal 28 I (4)”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
  • UU No 39 tahun 1999 tentang HAM menyatakan; pasal 1 angka (1)”Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
  • Pasal 71 UU No 39 tahun 1999; “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang.diterima oleh negara Republik Indonesia.
  • UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan : Pasal 18 ayat (1);”Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia”. Selanjutnya pada pasal 20 ayat (1):Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik”
  • Ketetapan atau TAP MPR No XVII/MPR/1998 tentang HAM pada pasal 1 menyatakan:”Menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat” dan pasal 2 manyatakan;”Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945″

 

Ketiga, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebagai alat pemerintah saat ini untuk menjadi referensi bagi perbaikan di masa depan, sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarahnya. Untuk itu masa lalu menjadi penting sebagai modal awal menata dan membangun masa depan yang lebih baik

Keempat, sesuai Declaration of Basic Principle of Justice for Victim and Abuse of Power, adopted by General Assembly Resolution 40/ 34 of 29 November 1985/Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (selanjutnya disebut deklarasi korban) ada beberapa hal dalam deklarasi ini yang  harus dijamin dan dilindungi oleh negara, sebagai berikut;

  • Hak korban atas tesedianya mekanisme keadilan dan memperoleh ganti rugi dengan segera (baik berupa kompensasi maupun restitusi)
  • hak atas informasi mengenai hak-haknya dalam mengupayakan ganti rugi dan memperoleh informasi kemajuan proses hukum yang berjalan termasuk ganti kerugian;
  • hak untuk menyatakan pandangan dan memberikan pendapat;
  • hak atas tersedianya bantuan selama proses hukuman dijalankan;
  • hak atas perlindungan dari gangguan/intimidasi/ tindakan balasan dari pelaku, perlindungan kebebasan pribadi dan keselamatan baik pribadi maupun keluarganya
  • hak atas mekanisme/proses keadilan yang cepat dan sederhana/ tidak adanya penundaan.

 

Keempat, dalam hukum Internasional pelanggaran HAM berat adalah kejahatan yang tidak mengenal kadaluarsa, secara spesifik dalam stauta Roma mengatur empat kejahatan yang tidak menegenal kadaluarsa;kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Sebagai contoh adalah kasus Heinrich Boere, mantan tentara Jerman yang pada bulan Oktober 2009 di majukan ke pengadilan di Aachen, Jerman. Selanjutnya pada bulan Maret 2010 dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, karena terbukti, dan juga diakuinya, 66 tahun sebelumnya, tepatnya tahun 1944, di masa pendudukan tentara Jerman di Belanda, membunuh tiga penduduk sipil di Belanda. Heinrich Boere berusia 88 tahun ketika vonis dijatuhkan. Selanjutnya putusan pengadilan perdata belanda atas gugatan korban Rawagede, Karawang, Jawa Barat yang menyatakan bahwa pemerintah belanda bertanggungjawab atas pembantauan di Rawagede yang terjadi tahun 1947 karena kejahatan tersebut tidak mengenal kadaluarsa.

Kelima, pernyataan tersebut dalam mengganggu proses penegakan hukum yang sedang berjalan bagi kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnnya di Kejaksaan Agung seperti kasus Trisakti, Semanggi I 1998 dan Semanggi II 1999, Tragedi Mei 1998, Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998 serta peristiwa Talangsari, Lampung 1989. Keempat peristiwa tersebut sedang menunggu proses penyidikan oleh Jaksa Agung.

Mendasarkan pada hal tersebut, jelas pernyataan yang disampaikan oleh Priyo Budi Santoso tidak sesuai dengan kepribadian yang datur dalam kode etik dan tidak sejalan dengan semangat penegakan hukum dan HAM serta menghambat upaya korban atas keadilan dan kepastian hukum. Kami mendesak kepada Priyo Budi Santoso melalui Badan Kehormatan DPR untuk :

  1. Mencabut keterangannya di media atas pernyataan yang telah menyesatkan dan membingungkan publik karena kapasitasnya sebagai wakil Ketua/Pimpinan DPR yang harus menjadi contoh dan tauladan bagi anggota lainnya
  2. Menyampaikan permohonan maaf kepada korban karena telah mencederai rasa keadilan bagi korban yang hingga saat ini masih berjuang untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum
  3. Menyampaikan permohonan maaf kepada publik melalui media karena tidak menghargai hasil laporan penyelidikan Komnas HAM

Demikian pengaduan ini kami sampaikan. Semoga menjadi bahan pertimbangan.

Jakarta, 26 Juli 2012

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Korban Peristiwa 1965/1966
Keluarga Korban Peristiwa Mei 1998
Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I 1998
Keluarga Korban Peristiwa Talangsari 1989
Keluarga Korban Peristiwa Tanjung Priok 1984
Keluarga Korban Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998