Ironi Priyo Budi Santoso dan Bedjo Untung

INILAH.COM, Jakarta – â??Hati-hati mulutmu harimauâ??. Pepatah ini mungkin cocok dengan kondisi terkini peryataan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso tentang peristiwa kelam yang dialami bangsa ini di masa lalu. Priyo pun dituduh tidak memiliki empati

Memang nasib Priyo Budi Santoso jauh lebih baik dibanding Bedjo Untung dan rekan-rekan lain yang menjadi korban malapetaka politik 1965/1996. Sebagai mantan aktivis HMI di UGM Yogyakarta, Priyo terkesan tidak punya empati kepada Bedjo karena tidak mengalami sendiri ditangkap, dan dilempar ke pulau Buru lalu disiksa seperti binatang dan dihina dina.

Priyo mungkin lupa tentang perspektif Foucault atau Derida yang memudahkan manusia mengetahui watak dan tabiat seseorang melalui wacananya. ”Mulutmu adalah harimaumu,” demikian pepatah Melayu. Ia kini seperti seorang priyayi politik yang bisa ngomong apa saja atas nama demokrasi.

Atas pernyataannya itu, Priyo pun dilaporkan kepada Badan Kehormatan (BK) DPR RI, Kamis (26/7), oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama korban dan keluarga korban pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) di masa lalu.

Laporan tersebut dilayangkan Kontras terkait pernyataan Priyo di media massa yang dianggap menyakiti hati korban dan keluarga korban, termasuk menghambat penuntasan kasus HAM masa lalu.

"Jangan berkutat pada persoalan lama, kata Priyo seperti itu. Menyesalkan dan menyayangkan apa yang dikatakan Priyo, buat kami ini tindakan tidak terhormat bagi seorang angggota parlemen," tegas Koordinator Kontras Harry Azhar.

Sejatinya, apa yang dilakukan Priyo dianggap melanggar kode etik sebagai anggota DPR. Seharusnya seorang pimpinan lembaga legislatif ikut mendukung penuntasan kasus HAM yang berat di masa lalu. "Buat kami, BK harus segera memeriksa Priyo, apa motifnya beliau bicara seperti itu," kata Harry.

Sebelumnya Priyo saat menyikapi kesimpulan Komnas HAM bahwa terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1996 mengatakan sebaiknya semua pihak tak lagi membuka sejarah kelam pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia.

"Membuka sejarah lama tak akan selesai. Tidak produktif. Kita lihat saja ke depan. Saya khawatir kalau dibuka kembali akan menimbulkan reaksi yang tak enak," ujarnya. Menurut Priyo, membuka suatu peristiwa masa lalu akan membuat berbagai peristiwa lainnya ikut dibuka.

Laporan kepada BK DPR ini dibuat atas nama korban peristiwa 1965-1966, keluarga korban peristiwa Mei 1998, peristiwa semanggi 1999, peristiwa Talangsari 1989, dan peristiwa Tanjung Priok 1984.

Korban kekerasan 1965-1966 Bedjo Untung yang turut serta melakukan laporan kepada BK menyayangkan pernyataan Priyo. â??Saya ditahan 9 tahun tanpa proses hukum, apa pantas Priyo bicara seperti itu," kata Bedjo yang juga Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965.

Pendapat Bedjo ada benarnya bahwa, apa yang dikatakan Priyo seakan ingin menutup masa lalu, bahwa bangsa ini pernah melewati masa kelam. Di mata publik, Priyo ingin menutupi masa lalu yang bisa jadi merupakan serangkaian kejahatan tersembunyi.

Kontras harus terus mendesak agar Priyo melalui BK memenuhi tiga tuntutan, yaitu mencabut keterangannya di media massa atas pernyataan yang menyesatkan dan membingungkan publik.

Kontras juga perlu menuntut agar Priyo menyampaikan permohonan maaf kepada korban karena telah mencederai rasa keadilan yang hingga saat ini belum mendapat kepastian hukum. Dan penting bahwa, Kontras harus mendesak Priyo menyampaikan permohonan maaf kepada publik karena tidak menghargai hasil laporan penyelidikan Komnas HAM. [mdr]