HAM Masa Lalu, Jalan Berliku ala SBY

Di kantor Kejaksaan Agung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 25 Juli 2012, kembali membuat pernyataan yang meminta Jaksa Agung mempelajari berkas hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus 1965 dan penembakan misterius 1982-1985.

Pernyataan ini semakin menambah daftar panjang ambiguitas sikap presiden terhadap kasus masa lalu meski di sisi lain memperpanjang harapan keadilan di Indonesia.

Empat tahun lalu, 20 Maret 2008, saat menerima para korban pelanggaran HAM, Presiden SBY juga membuat pernyataan serupa: bahwa pemerintahan akan mencari solusi terbaik untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu.

Dalam kesempatan tersebut, para perwakilan korban menyampaikan harapannya atas kasus-kasus mereka. Ibu Sumarsih, ibunda Wawan, mahasiswa Atma Jaya korban Semanggi I, meminta agar proses hukum hasil penyelidikan Komnas HAM diteruskan oleh Kejaksaan Agung.

Azwar Kaili, korban Talangsari Lampung 1989, menyampaikan bahwa masih terjadi diskriminasi terhadap para korban dan masyarakat di Dusun Talangsari. Desa mereka tidak dibangun layaknya desa-desa tetangga.

Irta Soemirta, korban Tanjung Priok 1984, juga menyatakan bahwa pengadilan HAM atas kasus Tanjung Priok justru membebaskan para pelakunya.

Zig-zag

Pernyataan presiden bisa menjadi awalan positif sejalan dengan prinsip hukum hak asasi manusia. Bahwa negara adalah penanggung jawab pemulihan dari kejahatan kemanusiaan. Pemulihan artinya penegakan hukum yang jujur dan adil, memperbaiki kondisi korban, keluarga dan masyarakat yang terkena dampak kejahatan tersebut dan memastikan bahwa kejahatan tersebut tidak berulang.

Lewat dari 2008, kemajuan justru datang dari DPR yang merekomendasikan penyelidikan atas kasus penghilangan aktivis 1997-1998. Dalam rekomendasinya, DPR meminta presiden segera mengeluarkan Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, memperbaiki kondisi korban dan keluarga korban, mencari mereka yang masih hilang dan segera meratifikasi konvensi pencegahan penghilangan orang secara paksa. Sayangnya, presiden hingga kini belum menindaklanjutinya.

Presiden justru meminta Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan mencari format penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Djoko Suyanto sebagai Menko Polhukam diminta memfasilitasi upaya perumusan penyelesaian.

Patut dipertanyakan apa motif di balik permintaan tersebut? Karena Menko Polhukam tidak memiliki mandat yudisial untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, dibandingkan Jaksa Agung yang secara jelas tugasnya diatur dalam UU Pengadilan HAM.

Hasil lain yang masih belum kelihatan adalah penunjukan Denny Indrayana sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM pada 2011. Menurut Denny, salah satu tugasnya adalah mencari rumusan terbaik dalam penuntasan kasus masa lalu. Tugas serupa disampaikan ke Albert Hasibuan, saat diangkat jadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, 2011.

Wajar jika kemudian Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pada 2012 membuat kesimpulan bahwa ada mala-administrasi oleh Presiden SBY, dengan tidak meneruskan rekomendasi kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998.

Kesempatan terakhir?

Dalam konsep hak asasi manusia, pengakuan negara merupakan salah satu pilar penting dalam kewajiban menangani peristiwa pelanggaran HAM. Namun, hal ini tidak cukup. Negara harus menindaklanjutinya dengan perumusan aturan hukum yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa itu adalah kejahatan. Kejahatan tersebut kemudian diuji lewat proses hukum ataupun nonhukum dengan memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas sehingga hasil kerja dan rekomendasinya memiliki integritas dan implementatif.

Dengan gambaran di atas, Presiden SBY dan pemerintahannya selama delapan tahun ini baru sampai pada tahap pengakuan verbal belaka. Berbagai berkas pelanggaran HAM berat hanya semakin menumpuk di kantor Kejaksaan Agung. Artinya, ada keberanian dari Kejaksaan Agung untuk mendiamkan kasus-kasus tersebut dan secara tidak langsung hal ini ternyata direstui oleh Presiden.

Sisa pemerintahan SBY tinggal dua tahun lagi menuju 2014. Masih ada sedikit kesempatan buat SBY untuk mengukir namanya agar bisa mendekati Vaclav Havel dan Nelson Mandela, yang berhasil membawa bangsanya keluar dari beban masa lalu.

Yang perlu dilakukan SBY adalah meminta Jaksa Agung segera membentuk tim penyidik atas berbagai berkas pelanggaran HAM. Permintaan ini bukan intervensi, melainkan sebuah tanggung jawab pimpinan terhadap Jaksa Agung untuk bekerja sesuai aturan perundang-undangan.

Kerja Jaksa Agung akan semakin mematangkan hasil-hasil penyelidikan oleh Komnas HAM, di antaranya mencari pelaku-pelaku yang masih hidup dan diduga mengetahui kejahatan yang terjadi. Presiden SBY juga harus memastikan agar institusi seperti TNI, Polri, dan lembaga intelijen mendukung secara penuh upaya hukum ini.

Identitas Indonesia hari ini dan hari depan diukur dari seberapa besar keberanian pemimpinnya menghadapi para penjahat. Jangan sampai para penjahatlah yang justru menjadi pemimpin bangsa kita pada masa depan.

Haris Azhar Koordinator Kontras