Memetik Pelajaran Ramadhan

Berpuasa adalah pilihan individual untuk dikerjakan. Di Indonesia, suasana bulan Ramadhan sangat terasa, tidak lain karena mayoritas penduduknya yang beragama Islam. Hal ini membuktikan bahwa kurun waktu Ramadhan membawa banyak anggota masyarakat pada suasana etis. Namun, apakah etika Ramadhan kita berbanding lurus dalam kerja pemerintahan?

Setelah habis berpuasa sebulan penuh, ramai-ramai pemeluk agama Islam secara universal merayakan Idul Fitri. Idul Fitri berarti kembalinya seseorang kepada keadaan fitrah (asal) manusia yang suci. Kondisi ini tentunya dicapai setelah melakukan shaum (puasa) sebulan penuh pada bulan Ramadhan. Dalam berpuasa, setiap Muslim diwajibkan untuk menahan diri. Menahan diri dari sesuatu yang membatalkan maupun menahan dari sesuatu yang mengurangi makna puasa untuk mencapai keadaan fitri pada akhir bulan. Hal yang membatalkan adalah makan, minum, atau berhubungan suami istri sejak fajar pagi hingga sore (maghrib). Sementara, yang mengurangi makna puasa, di antaranya amarah, gosip, ataupun mencederai seseorang ataupun diri sendiri.

Lebih jauh, puasa Ramadhan memiliki berbagai macam relasi, baik yang bernuansa vertikal, sosial, maupun individual. Pada konteks relasi vertikal, puasa merupakan bentuk pelaksanaan kewajiban (fardhu ain) bagi setiap individu yang sudah dewasa (baligh), berakal, dan sehat kepada Allah SWT. Sedangkan dalam konteks sosial, puasa melatih membangun empati terhadap sesama. Empati ini, misalnya, dapat terwujud dalam bentuk merasakan kemiskinan sesama Muslim yang tidak makan, atau berbagi pendapatan kepada yang membutuhkan.

Sayangnya, dalam lingkup kebangsaan hari-hari ini di Indonesia, puasa dan suasana Ramadhan belum sepenuhnya diisi oleh praktik dan etika Ramadhan yang baik di ruang sosial-politik. Puasa kita, selain disuguhi rangkaian ceramah di berbagai ruang publik, secara bersamaan disuguhi berbagai peristiwa ketidakjujuran, misalnya kekerasan di Ogan Ilir, Sumatra Selatan, penyiksaan di Sabu, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), serta kasus dugaan korupsi di kantor penegak hukum.

Becermin pada beberapa contoh tersebut di atas, pertanyaannya, sejauh mana kualitas kita men jaga kesyahduan Ramadhan. Jika para polisi berpuasa dan taat pada syariatnya, seharusnya tidak melukai manusia-ma nusia lainnya. Jika syariat dan hakikat puasa dipahami, kita harus sadar bahwa berpuasa adalah membangun empati bagi kemiskinan yang masih menghampar di negeri ini.

Bagi para polisi, politisi, atau siapa pun yang berpuasa jelas bahwa puasa mereka tidak akan batal selama mereka tidak makan, minum, atau berhubungan suami istri pada waktu fajar pagi hingga maghrib. Namun, bagi yang melakukan kekerasan dan menutup-nutupinya, mereka telah kehilangan makna puasa.

Kondisi tidak ideal yang terjadi selama Ramadhan memberikan gambaran betapa berpuasa hanya rutinitas bagi kalangan pejabat publik tanpa mendapatkan hakikatnya. Konsep nasionalisme religius yang selalu dibanggakan oleh berbagai entitas publik di negeri ini menjadi artifisial. Nasionalisme religius seharusnya bisa di artikan sebagai rasa solidaritas atas dasar nilai-nilai yang substansial dari semua ajaran-ajaran agama.
Fungsi-fungsi pembinaan di pemerintahan atau di institusi keamanan terbukti tidak kontributif bagi penciptaan pelayanan sosial dan kemasyarakatan. Kondisi dan praktik seperti ini sungguh(?)

Di sisi individual, kesabaran tiap anggota masyarakat menghadapi buruk nya argumentasi dan praktik para pejabat negara selama Ramadhan, justru memberikan nilai tambah dalam berpuasa. Bagi yang miskin menjelang Lebaran dibelaskasihi dengan jatah zakat. Tidak ada nilai sosial dan adab baru yang bisa dijadikan momentum kebangkitan bangsa. Bagi si miskin, tidak ada ruang untuk bertanya, dari mana asal uang zakat yang diberikan kepadanya.

Ramadhan kali ini belum mampu membangkitkan semangat kebersamaan. Ramadhan kali ini belum membawa ke cita ideal konsep negara. Negara yang fitri adalah negara yang menjalankan tugas-tugas asasinya. Hari-hari ini, masih ada ruang dan jarak yang tidak harmonis antara negara dan masyarakatnya. Perayaan Lebaran kali ini pasti dipenuhi oleh banyak kepura-puraan sosial, seperti berminta maaf tanpa mengerti apa yang mau dimaafkan.

Akan tetapi, masa depan masih panjang buat bangsa ini. Idealnya berpuasa dan suasana Ramadhan bisa menjadi waktu untuk membangun dan melatih etos keimanan transendental (kepada Allah SWT) dan solidaritas sosial bagi para pejabat publik. Bangunan iman dan solidaritas ini terwujud lewat kebijakan dan perilaku yang berpihak pada yang lemah, seperti membuat kebijakan yang adil, berkata yang jujur, serta berlaku santun dalam melayani masyarakatnya.

Metodologi berpuasa bukan buruk, melainkan kesungguhan implemen tasinya yang jelek. Untungnya, masih ada Syawal yang membuka ke sempatan bagi aktor-aktor di pemerintahan untuk memberikan dan mempraktikkan nilai-nilai puasa saat Ramadhan. Itulah yang dimaksud nasional religius. Semoga.