Polisi Bubarkan Pengunjuk Rasa

SINGKIL-Polisi dari Polres Aceh Singkil menangkap koordinator pengunjuk rasa, Jirin Capah dan temannya, Al Qudri, saat hendak menggelar demo ke Kantor Bupati Aceh Singkil, Kamis (30/8). Akibatnya, puluhan warga dan mahasiswa yang sediakan akan berunjuk rasa, langsung bubar.

Saat koordinator aksi itu diamankan dari sekitar lapangan sepakbola di depan kantor bupati, sempat pula terjadi adu mulut antara personel polisi dengan mahasiswa yang tak merelakan temannya dibawa. Bahkan terjadi gesekan fisik yang menyebabkan Bakaruddin, mahasiswa IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, yang ikut unjuk rasa, terluka di pelipis kanannya.

Beberapa sumber menyebutkan, kejadian itu terpicu lantaran perwakilan pendemo tidak mau dipanggil polisi untuk melengkapi surat pemberitahuan unjuk rasa.

Di sisi lain, para pengunjuk rasa merasa sudah mengirim surat pemberitahun ke polisi, sehingga mereka tak perlu datang lagi saat dipanggil secara lisan.

Tapi, sikap para pengunjuk rasa itu disesalkan Kapolres Aceh Singkil, AKBP Bambang Syafrianto. “Unjuk rasa ada prosedurnya. Dalam surat pemberitahuan yang dikirimkan itu ada yang harus dilengkapi, baru bisa dikeluarkan surat tanda terima, setelah itu mereka akan kami kawal. Tapi sudah diminta datang baik-baik, tetap tak datang. Ya akhirnya, beginilah kejadiannya. Boleh berdemokrasi, tapi ada aturan yang harus dipatuhi,” imbuh Kapolres.

Pada dasarnya, para pengunjuk rasa itu ingin menyuarakan tuntutan menolak pemasangan patok permanen dalam kawasan Hak Guna Usaha (HGU) PT Nafasindo oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI.

Sediannya, jika unjuk rasa itu jadi digelar, masyarakat dari 22 desa yang bersengketa lahan dengan perusahaan perkebunan asal Malaysia itu, akan menyerahkan surat tembusan ke Bupati Aceh Singkil yang ditujukan ke Gubernur Aceh. Isinya hampir serupa, yakni menolak pemasangan patok oleh BPN Pusat. Tapi dalam kenyataannya, demo itu urung dilanjutkan.

Tentang adanya korban luka dalam aksi itu, Kapolres Bambang Syafrianto menyatakan, jangan dilihat akibatnya saja, tapi harus juga ditilik penyebabnya.

Menurutnya, kalau mahasiswa mau mematuhi aturan berunjuk rasa, maka hal itu tidak akan terjadi. Kendati demikian, ia menegaskan apabila ada anak buahnya yang berbuat salah, maka tetap akan ditindak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Dalam peristiwa itu, dua mahasiswa yang ikut demo (Jirin Capah dan Al Qudri) sempat dibawa ke Polres Aceh Singkil. Namun, setelah diberi penjelasan oleh polisi mereka pun diperbolehkan pulang.

Sementara itu, Bakaruddin yang pelipis kanannya terluka, seusai dibawa teman-temannya berobat ke Puskesmas Singkil, langsung menggelar konferensi pers di Kantor Persatuan Wartawan Aceh Singkil (Perwasi). Ia didampingi Alhamda, Wakil Direktur Bidang Operasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh dan Wiwin, staf Advokasi Komisi Orang Hilang dan Kornan Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh.

Bakaruddin menceritakan, saat anggota polisi berseragam mengejar Al Qudri yang persis berada di belakangnya, saat itulah cakaran serasa dari kuku mengenai mukanya hingga terluka.

Alhamda menilai, polisi terlalu arogan dan represif saat menghadapi pengunjuk rasa. Oleh karenanya, ia minta Kapolres Aceh Singkil mengevaluasi tindakan anggotanya agar ke depan lebih persuasif ketika berhadapan dengan pengunjuk rasa yang tidak anarkis seperti mereka. “Walau hanya setetes, tapi sudah ada darah yang ke luar. Ini tidak boleh terjadi lagi,” timpalnya.

Alhamda menyatakan, demonstrasi merupakan hak setiap warga negara. Adapun prosedurnya bukan minta surat izin ke polisi, melainkan cukup pemberitahuan tertulis saja. “Jika polisi mau melarang, ya buatlah secara tertulis juga agar bisa dilihat apa yang menjadi dasar hukum penolakannya. Jadi, tidak melalui lisan,” kata Alhamda. Wiwin dari Kontras Aceh menambahkan bahwa unjuk rasa merupakan hak rakyat di alam demokrasi. (c39)