Sulitnya Anak Warga Syiah Bersekolah

TEMPO.CO, Sampang–Memasuki hari ke-20 di pengungsian, Muhaimin mulai jenuh. Anak Hamamah, warga Syiah Sampang yang tewas dalam penyerangan massa pada 26 Agustus silam, itu ingin segera kembali ke sekolah. Kegiatannya sehari-hari adalah membantu mengurus ransum untuk pengungsi. “Ingin sekolah biar hilang jenuh dan stres di pengungsian,” katanya Senin 10 September 2012.

Muhaimin adalah satu dari 15 anak warga Syiah yang bertahan di pengungsian. Teman-temannya yang lain sudah diam-diam keluar dari pengungsian sejak beberapa hari lalu. Terakhir pada Ahad lalu, lima anak pengungsi berusia 13-14 tahun hengkang dari pengungsian yang dijaga ketat polisi dan aparat dari Pemerintah Kabupaten Sampang.

Anak-anak warga Syiah ini pergi dengan didampingi relawan untuk memastikan keamanan mereka. “Kami berani berangkatkan siang hari, sebelumnya hanya malam antara magrib dan isya,” kata pemuka Syiah Sampang, Iklil Almilal, kepada Tempo.

Keluar diam-diam dari pengungsian, kata Iklil, terpaksa dirancang karena Pemerintah Kabupaten Sampang mempersulit izin anak-anak kembali ke sekolah.

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya mencatat, sudah 46 anak yang dibantu keluar diam-diam dari pengungsian. “Sejak hari pertama di pengungsian, ada anak-anak Syiah yang kembali ke sekolah, hanya kami diam-diam saja,” kata Koordinator Kontras Surabaya, Andi Irfan, kemarin.

Sementara itu, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Sampang, Rudi Setiadhi, meminta agar tak ada lagi anak yang pergi diam-diam dari pengungsian. Rudi membantah anggapan bahwa pihaknya melarang mereka bersekolah. Dia hanya meminta syarat kepada para relawan agar setiap orang tua menyerahkan surat kuasa kepada relawan yang akan mengantar anak-anak Syiah ke sekolah. “Ini memang prosedurnya, akan keluar dari GOR harus izin polisi, demi keamanan mereka juga,” katanya.