Tindakan Polisi Syariah di Aceh Langgar HAM

JAKARTA–MICOM:Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Satgas Perlindungan Anak mengaku prihatin atas kematian PE, 16, remaja Aceh yang meninggal akibat gantung diri.

Korban diduga meninggal karena malu dituduh ingin menjual diri oleh petugas Wilayatul Hisbah (WH) Langsa atau polisi syariah Aceh.

“Kami sangat prihatin atas kejadian ini. Jelas sekali tidak ada perspektif perlindungan anak atas tindakan yang dilakukan petugas WH di sana. Bagaimana pun kondisi PE, dianggap salah sekali pun tidak bisa diberikan tekanan psikologis sedemikian rupa sehingga dia merasa tertekan,” ujar Kepala Sekretariat Satgas Perlindungan Anak Ilma Sovri Yanti saat menggelar Konferensi Pers di Kantor Kontras, Jakarta Pusat, Kamis (13/9).

Menurut dia, pendekatan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah sudah sangat jelas melanggar hak-hak anak.

“Pendekatan pada anak itu kan adalah pendekatan pendampingan bukan pendekatan hukuman; apalagi dia seorang remaja yang sedang bertumbuh. Rasa salah dia sangat besar ketika dia merasa sangat dipojokkan. Ini yang kami sesalkan,” tandas Ilma.

Di tempat yang sama Kepala Biro Pemantauan Kontras Feri Kusama menegaskan, cara berpakaian merupakah ranah pribadi seseorang dan merupakan ruang lingkup HAM.

Menurut Feri, siapa pun tidak bisa menghambat laju anak, khususnya remaja yang mengikuti tren pakaian yang digunakan di daerah lain. Ia mempertanyakan, mengapa pemberlakuan Syariat Islam hanya untuk masyarakat sipil.

“Penggunaan pakaian atau keinginan pergi kemana pun, termasuk hak asasi manusia (HAM) yang dilindungi oleh konstitusi, dan perlu mendapat perlindungan dari pemerintah. Penyelenggara negara harus tahu mana yang bisa diatur dengan hukum, dan mana yang tidak bisa diatur oleh hukum,” imbuh Feri.

Pada Kamis (6/9) lalu, seorang remaja putri tewas akibat gantung diri di kamar tidurnya. Ia mengambil jalan pintas lantaran malu dengan tuduhan yang dialamatkan polisi syariah kepadanya. Polisi syariah menuding dia menjual diri karena begadang di lapangan Merdeka.

Itu terungkap dari sepucuk surat yang ditinggalkan remaja berusia 16 tahun berinisial PE, untuk keluarganya.

Dalam suratnya PE menceritakan tentang kasus penangkapan dirinya oleh petugas Wilayatul Hisbah (WH) Langsa, Senin (3/9) menjelang Shalat Subuh. Dalam suratnya, PE bersumpah tiaak pernah menjual diri, seperti yang dituduhkan pihak Dinas Syariat Islam Langsa, ketika dia dan teman wanitanya ikut ditangkap WH.

Surat tersebut berbunyi, “Ayah, maafin PE ya Yah. PE udah malu-maluin ayah sama semua orang. Tapi, PE berani sumpah kalau PE enggak pernah jual diri sama orang. Malam itu, PE cuma mau nonton kibot (organ tunggal) di Langsa. Terus, PE duduk di lapangan begadang sama kawan-kawan PE.”

Pada alinea berikutnya, PE menceritakan alasan mengambil jalan pintas dengan cara bunuh diri. “Sekarang, PE enggak tahu harus gimana lagi, biarlah PE pigi (pergi) cari hidup sendiri. PE enggak ada gunanya lagi sekarang. Ayah jangan cariin PE ya..!! nanti PE juga pulang jumpai ayah sama Aris. Biarlah PE belajar hidup mandiri, PE harap ayah enggak akan benci sama PE. Ayah sayang kan sama PE??? PE sedih kali enggak bisa jumpa Ayah, maafin PE ayahâ?¦Kakak sayang sama Aris, maafin kakak ya.”(SW/OL-9)