AM Fatwa: Penyelesaian Kasus HAM di Indonesia Terganjal TNI

JAKARTA – Sejumlah pelanggaran HAM berat di masa lalu sulit dituntaskan bukan karena kekurangan alat bukti, melainkan lebih kepada faktor politik dan kekuasaan. Akibatnya, sejumlah rekomendasi yang diajukan oleh Tim Pencari Fakta bentukan DPR pun ditolak untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Anggota DPD dari DKI Jakarta, AM Fatwa, mencontohkan kasus Tanjung Priok yang sudah ada putusan dari pengadilan pun, pengungkapannya tidak selesai hingga sekarang.

"Saya terlibat dalam pembentukan tim di DPR untuk pengadilan HAM AdHoc Tanjung Priok. Pada waktu itu saya diserahi tugas oleh (mantan) ketua DPR Akbar Tanjung (menjabat 1999-2004), karena saya korban dan saksi," ungkap Fatwa kepada Atjehpost, Minggu, 16 September 2012.

Tetapi, lanjut Fatwa, saat itu ada reaksi dari Mabes TNI untuk mengabaikan tindak lanjut kasus itu.

"Try Sutrisno sebagai pihak yang menjadi jurubicara pihak bekas penguasa masa itu, berusaha mempengaruhi Presiden Abdurraham Wahid agar mengabaikan rekomendasi politik DPR," katanya.

Hal tersebut terus berlanjut hingga kepemimpinan Presiden Yudhoyono. Meskipun Presiden berulangkali menegaskan akan menuntaskan peristiwa pelanggaran HAM berat, seperti Talangsari, Tanjung Priok dan kasus-kasus lainnya, rekomendasi tetap tidak dijalankan.

"DPR reformasi tahun 1999 menyalahkan tindakan itu dan perlu dibentuk Pengadilan HAM AdHoc. Tetapi tim hukum dari mabes TNI mengirim surat pada Jaksa Agung dan DPR, diminta untuk mengabaikannya," kata Fatwa, yang juga mantan Wakil Ketua MPR RI.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam situs mereka menyebutkan bahwa Menkopolhukam, Joko Suyanto menyatakan telah diminta oleh Presiden SBY untuk mencari format penyelesaian terbaik untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Tim tersebut dibentuk atas instruksi Presiden, sebagai tindaklanjut pertemuan Presiden dengan Komnas HAM pada Mei 2011. Tim telah melakukan pertemuan dengan korban Tanjung Priok pada November 2011.

Akan tetapi, kata KontraS, setelah satu tahun Tim ini bekerja belum menunjukan hasil yang signifikan.

"Kami menyayangkan sikap Menkopolhukam dan Presiden yang terkesan lepas tangan terhadap kinerja Tim. Selain itu Kemenkopolhukam dan Presiden juga belum bersedia memberikan penjelasan mengenai hasil kerja Tim dan tindaklanjutnya," kata KontraS.

Secara keseluruhan terdapat sekitar 15 pelanggaran HAM berat yang dinyatakan harus diselesaikan, demi keadilan bagi korban dan keluarga, sekaligus penjelasan kepada masyarakat umum.

Kasus-kasus tersebut antara lain Tragedi 1965, Talangsari, Tanjung Priok, Kekerasan di Aceh, Kerusuhan 1998, Insiden Trisakti, Semanggi I dan II, Munir, dan Wamena Wasior (Papua).

"Menjelang uji kelayakan dan kepatutan komisioner Komnas HAM yang baru, KontraS juga meminta DPR memilih calon-calon yang berpihak pada korban dan mampu melakukan terobosan untuk penuntasan kasus-kasus yang terhambat di Kejaksaan Agung," kata Yati Andriyani, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, di Jakarta, Jumat lalu.