Kontras Protes Tindakan Salah Tangkap Densus 88

LENSAINDONESIA.COM: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan protes keras atas tindakan personel Densus 88 Anti Teror Polri dalam serangkaian operasi penindakan teror Solo dan di beberapa wilayah di Indonesia.
Demikian disampaikan kordinator Kontras, Haris Azhar kepada LICOM, (25/09/12).

Tidak hanya di Solo, kata Haris, sepanjang 3 bulan terakhir terhitung dari Juli-September 2012, berbagai operasi penindakan serempak dilakukan di beberapa wilayah lainnya, seperti di Jakarta, Medan, dan Kalimantan Barat.

Azhar mengakui, operasi penindakan tersebut mampu meringkus beberapa aktor yang diduga kuat terkait dengan teror Solo dalam waktu singkat. Akan tetapi, kemampuan dalam melumpuhkan jaringan teror ini masih belum diikuti dengan kualitas pelaksanaan penindakan di lapangan. Terbukti, lanjutnya, bahwa ada praktik salah tangkap yang dikombinasikan dengan tindakan melumpuhkan lawan secara serampangan kepada warga sipil. "Tindakan semacam itu potensial memicu teror dan kontraproduktif dengan tujuan Densus 88 dalam memerangi terorisme," kata dia.

Haris memaparkan, dalam praktik dugaan salah tangkap yang dialami Muarifin (18 Juli 2012) dan Dul Rahman (22 September 2012), keduanya ditangkap di lokasi yang berbeda. Terdapat beberapa tindakan yang menyimpang dari prosedur penindakan ada. Hal serupa juga dialami pada kasus pemukulan serius Wiji Suwito (31 Agustus 2012)-ayah mertua Bayu Setiono yang diduga kuat terlibat dalam aksi teror Solo-.

Sementara pada kasus Muarifin, lanjut Haris, praktik salah tangkap bermula dari kesalahpahaman personel Densus 88 saat membaca isi surat perintah penangkapan Kadensus 88 yang menginstruksikan menangkap Arifin alias Gogon, karena diduga kuat terlibat dalam tindak pidana terorisme. Muarifin dan Arifin adalah 2 orang yang memiliki identitas berbeda.

"Sedangkan dalam kasus Dul Rahman, korban langsung dicokok di Tempat Kejadian Perkara (TKP) ketika ia hendak mendokumentasikan penangkapan sejumlah pelaku teroris. Dul Rahman bahkan sempat ditahan dan mengalami perlakuan kasar dalam tahanan hingga akhirnya ia dibebaskan," paparnya.

Untuk kasus Wiji Suwito, imbuh Haris, selain mengalami pemukulan serius, personel Densus 88 mengepung rumah dan mengarahkan senjata api kepada penghuni rumah yang bukan target penangkapan.

kata Haris, praktik salah tangkap dan aksi kekerasan yang dilakukan personel Densus 88 kepada warga sipil menunjukkan bahwa semua kegiatan penindakan di lapangan nyaris tidak mengacu kepada ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme. "Dalam ketentuan tersebut diterangkan bahwa semua kegiatan penindakan tersangka baik yang terencana maupun segera- harus dilakukan melalui tahapan khusus, melibatkan intelijen Polri yang bekerja untuk membuat analisa situasi dan kondisi tersangka dan lingkungannya (Pasal 11), diikuti dengan prinsip kehati-hatian dan mempertimbangkan risiko keamanan/keselamatan manusia (Pasal 7).

KontraS menyatakan mendukung semua langkah dan upaya yang ditempuh oleh Polri dan khususnya Densus 88 dalam menjamin rasa aman publik Indonesia dari ancaman teror. Akan tetapi, lanjut Haris, KontraS juga mendukung apabila Densus 88 dan semua dukungan pihak internal/eksternal Polri bekerja dalam koridor hukum dan HAM yang mengedepankan prinsip-prinsip legalitas, proporsionalitas, koordinasi, nesesitas, dan akuntabilitas dalam melaksanakan tugasnya memberikan perlindungan hukum maksimal bagi warga Indonesia. "Oleh karenanya kami meminta Komnas HAM dan Ombudsmen juga melihat persoalan kekerasan dalam operasi pemberantasan terorisme; melakukan penyelidikan bersama dan memberikan tindakan korektif bagi Kepolisian terutama Densus 88," tandasnya. @aligarut

Kontras Protes Tindakan Salah Tangkap Densus 88

LENSAINDONESIA.COM: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan protes keras atas tindakan personel Densus 88 Anti Teror Polri dalam serangkaian operasi penindakan teror Solo dan di beberapa wilayah di Indonesia.
Demikian disampaikan kordinator Kontras, Haris Azhar kepada LICOM, (25/09/12).

Tidak hanya di Solo, kata Haris, sepanjang 3 bulan terakhir terhitung dari Juli-September 2012, berbagai operasi penindakan serempak dilakukan di beberapa wilayah lainnya, seperti di Jakarta, Medan, dan Kalimantan Barat.

Azhar mengakui, operasi penindakan tersebut mampu meringkus beberapa aktor yang diduga kuat terkait dengan teror Solo dalam waktu singkat. Akan tetapi, kemampuan dalam melumpuhkan jaringan teror ini masih belum diikuti dengan kualitas pelaksanaan penindakan di lapangan. Terbukti, lanjutnya, bahwa ada praktik salah tangkap yang dikombinasikan dengan tindakan melumpuhkan lawan secara serampangan kepada warga sipil. "Tindakan semacam itu potensial memicu teror dan kontraproduktif dengan tujuan Densus 88 dalam memerangi terorisme," kata dia.

Haris memaparkan, dalam praktik dugaan salah tangkap yang dialami Muarifin (18 Juli 2012) dan Dul Rahman (22 September 2012), keduanya ditangkap di lokasi yang berbeda. Terdapat beberapa tindakan yang menyimpang dari prosedur penindakan ada. Hal serupa juga dialami pada kasus pemukulan serius Wiji Suwito (31 Agustus 2012)-ayah mertua Bayu Setiono yang diduga kuat terlibat dalam aksi teror Solo-.

Sementara pada kasus Muarifin, lanjut Haris, praktik salah tangkap bermula dari kesalahpahaman personel Densus 88 saat membaca isi surat perintah penangkapan Kadensus 88 yang menginstruksikan menangkap Arifin alias Gogon, karena diduga kuat terlibat dalam tindak pidana terorisme. Muarifin dan Arifin adalah 2 orang yang memiliki identitas berbeda.

"Sedangkan dalam kasus Dul Rahman, korban langsung dicokok di Tempat Kejadian Perkara (TKP) ketika ia hendak mendokumentasikan penangkapan sejumlah pelaku teroris. Dul Rahman bahkan sempat ditahan dan mengalami perlakuan kasar dalam tahanan hingga akhirnya ia dibebaskan," paparnya.

Untuk kasus Wiji Suwito, imbuh Haris, selain mengalami pemukulan serius, personel Densus 88 mengepung rumah dan mengarahkan senjata api kepada penghuni rumah yang bukan target penangkapan.

kata Haris, praktik salah tangkap dan aksi kekerasan yang dilakukan personel Densus 88 kepada warga sipil menunjukkan bahwa semua kegiatan penindakan di lapangan nyaris tidak mengacu kepada ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme. "Dalam ketentuan tersebut diterangkan bahwa semua kegiatan penindakan tersangka baik yang terencana maupun segera- harus dilakukan melalui tahapan khusus, melibatkan intelijen Polri yang bekerja untuk membuat analisa situasi dan kondisi tersangka dan lingkungannya (Pasal 11), diikuti dengan prinsip kehati-hatian dan mempertimbangkan risiko keamanan/keselamatan manusia (Pasal 7).

KontraS menyatakan mendukung semua langkah dan upaya yang ditempuh oleh Polri dan khususnya Densus 88 dalam menjamin rasa aman publik Indonesia dari ancaman teror. Akan tetapi, lanjut Haris, KontraS juga mendukung apabila Densus 88 dan semua dukungan pihak internal/eksternal Polri bekerja dalam koridor hukum dan HAM yang mengedepankan prinsip-prinsip legalitas, proporsionalitas, koordinasi, nesesitas, dan akuntabilitas dalam melaksanakan tugasnya memberikan perlindungan hukum maksimal bagi warga Indonesia. "Oleh karenanya kami meminta Komnas HAM dan Ombudsmen juga melihat persoalan kekerasan dalam operasi pemberantasan terorisme; melakukan penyelidikan bersama dan memberikan tindakan korektif bagi Kepolisian terutama Densus 88," tandasnya. @aligarut