LSM Minta Pembahasan RUU Kamnas Dihentikan

Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar DPR menghentikan pembahasan RUU Keamanan Nasional (RUU Kamnas) yang digagas pemerintah.

Menurut Direktur Program Imparsial, Al- Araf, Pansus RUU Kamnas telah mengembalikan rancangan RUU Kamnas kepada pemerintah untuk diperbaiki. Namun, hal itu tak kunjung dilakukan pemerintah. Al menilai RUU Kamnas bermasalah, setidaknya terdapat lebih dari 25 pasal yang dinilai bertentangan dengan HAM.

Al melihat semangat yang terdapat dalam RUU Kamnas adalah sekuritisasi, yaitu mengedepankan kekuatan militer ketimbang proses dialogis dan negosiasi dalam penegakan hukum. Salah satu ketentuan yang tercantum dalam RUU Kamnas adalah pemberian kewenangan kepada TNI dan aparat intelijen (BIN) untuk melakukan penyadapan, penangkapan dan lainnya. Menurut Al hal itu hanya dapat dilakukan aparat penegak hukum, bukan militer.

Kemudian di pasal 17 RUU Kamnas, Al melihat pemogokan massal, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa, diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi disebut ancaman keamanan nasional. Menurut Al hal itu multitafsir dan dapat menjerat semua pihak yang kritis terhadap kekuasaan. Misalnya pemogokan yang dilakukan kaum pekerja, jurnalis yang mengkritik kekuasaan. Bahkan anggota dewan dapat dianggap mengancam keamanan nasional karena membuat UU yang dinilai mengancam keamanan nasional.

"Kami minta (pembahasan,-red) RUU Kamnas tidak dilanjutkan DPR," kata Al kepada wartawan dalam jumpa pers di kantor Imparsial Jakarta, Selasa (25/9).

Pada kesempatan yang sama peneliti Elsam, Wahyudi Djafar, mengatakan terdapat beberapa catatan terkait proses RUU Kamnas yang diajukan pemerintah Ke DPR pada 30 September 2011. Komisi I mengadakan beberapa kali Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan para pemangku kepentingan di antaranya organisasi masyarakat sipil, Dewan Pers dan Komnas HAM. Hasilnya, RUU Kamnas dikembalikan kepada pemerintah untuk diperbaiki karena materi yang ada di dalamnya dinilai bermasalah.

Begitu pula dengan Pansus yang terdiri dari Komisi I, II dan III. Namun, ketika RUU Kamnas itu dikembalikan ke DPR, ternyata tidak ada perubahan seperti yang diharapkan. Menurut Wahyudi, pemerintah beralasan bahwa perubahan terhadap RUU Kamnas diserahkan sepenuhnya ke DPR.

Ketika RUU itu dikembalikan ke pemerintah, DPR dianggap tidak memberikan catatan
tentang pasal mana saja yang harus diubah. Bagi Wahyudi hal tersebut tidak beralasan, karena selama proses RDP banyak catatan yang disampaikan pemangku kepentingan. "Tidak ada iktikad baik dari pemerintah untuk mengubah RUU Kamnas ini," ujar Wahyudi.

Wahyudi menjelaskan, dalam RUU Kamnas, terdapat agenda-agenda tertentu yang coba diselundupkan pemerintah. Misalnya ada sejumlah pasal yang tidak lolos untuk disahkan dalam UU Intelijen dimasukkan kembali ke dalam RUU Kamnas. Salah satunya kewenangan aparat intelijen untuk melakukan penangkapan. Serta terdapat aturan yang memberikan kewenangan khusus lainnya kepada aparat intelijen.

Dari segi substansi, Wahyudi melihat banyak hal yang tidak didefinisikan dengan baik dalam RUU Kamnas, terutama tentang definisi keamanan nasional dan ancaman. Atas dasar itu Wahyudi melihat legislasi di sektor keamanan dalam beberapa waktu terakhir memburuk.

Setelah lepas dari belenggu militerisme di bawah kepemimpinan orde baru, Wahyudi menilai saat ini pemerintah mencoba mengarahkan kepada otoritarianisme sipil. Yaitu pemerintah dengan kekuatannya mencoba membentuk kebijakan legislasi yang membatasi kebebasan sipil dan HAM.

Menanggapi RUU Kamnas, Koordinator Program Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis, melihat adanya amanat untuk memberi kewenangan operasional terhadap Dewan Keamanan Nasional (DKN). Menurutnya DKN tidak perlu memiliki fungsi operasional, karena jika itu dilakukan maka terjadi tumpang tindih kewenangan dengan lembaga keamanan lain.

Selain itu, Beni menyoroti kewenangan yang diberikan terhadap presiden untuk menentukan potensi aktual dan potensial. Menurutnya hal itu menunjukan adanya sikap otoritarian dari RUU Kamnas. Tentang pengaturan darurat, Beni melihat RUU Kamnas bertentangan dengan UU No.23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Sementara Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar, berpendapat keamanan nasional yang berparadigma sekuritisasi biasanya digunakan ketika penyelesaian keamanan di tingkat politisasi atau dialog tidak dapat diselenggarakan.

Menurut Haris yang harus dibenahi adalah sistem keamanan yang ada. Misalnya, ketika Papua dianggap sebagai ancaman nasional, bagi Haris yang bermasalah adalah sistem yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Pasalnya, dialog damai yang setara tidak dilakukan dan yang dilakukan pemerintah sebaliknya, menggunakan kekuatan militer. Begitu pula dengan adanya konflik lahan, terjadi karena penegakan hukum tidak ada dan absennya ruang dialog.

Haris heran, kenapa ancaman nasional menyasar masyarakat, bukan sistem yang mengakibatkan masyarakat bergolak. Misalnya di segi penegakan hukum, ketika penuntasan kasus penghilangan orang secara paksa macet, kenapa itu tidak disebut sebagai ancaman nasional. "RUU Kamnas menurut saya hanya mau mengambil jalan pintas, mewakili kepentingan pragmatis bahwa kepastian hukum tidak ada, direspon dengan kepastian keamanan," tuturnya.

Ketika performa kepolisian selaku aparat penegak hukum dirasa buruk, menurut Haris lembaga kepolisian harus dibenahi mulai dari regulasi sampai pimpinan Polri. Bukan malah mengganti peran Polri dengan TNI. Selain itu Haris khawatir terjadi transaksi politik dalam ranah penguatan terhadap TNI. Apalagi menjelang Pemilu 2014, menurut Haris ada indikasi yang semakin memperkuat adanya kepentingan politik untuk memberi ruang lebih kepada TNI masuk dalam tatanan masyarakat sipil dan penegakan hukum