Mandek di Kejagung Kasus G30S Harus Diambil alih Pemerintah

Pemerintah dituding masih mengedepankan prinsip power of ignorance dalam penegakan hak asasi manusia (HAM).

Ini terjadi khususnya dalam kejadian pembantaian massal pada peristiwa G30S/PKI beberapa tahun silam.

Haris Azhar, Koordinator Kontras yang juga seorang aktivis HAM, melihat a pemerintah Indonesia masih mengedepankan kekuatan politik untuk menuding pihak lain, ketimbang menyelesaikan masalah yang pada dasarnya sudah memiliki titik terang.

Dalam penegakan kasus pelanggaran HAM terkait insiden G30S/PKI ini, beberapa waktu lalu, Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) sebenarnya telah mengeluarkan rekomendasi.

Komnas HAM menyebut rangkaian peristiwa pembantaian dan penghilangan orang secara paksa pada tahun 1960-1970-an itu sebagai kejadian pelanggaran HAM berat.

Rekomendasi tersebut selanjutnya diserahkan oleh Komnas HAM kepada pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk penyelesaian hukum selanjutnya.

Namun hingga saat ini, belum ada bentuk nyata dari tindak lanjut Kejagung atas kejadian ini.

Pihak Kejagung justru berdalih kasus ini sulit diselesaikan karena bukti-bukti yang sudah tidak ada.

"Amat disayangkan bahwa Kejagung sudah beberapa kali membuat pernyataan yang demikian. Seharusnya mereka tidak perlu resisten seperti itu," sebut Haris.

Lebih lanjut, Haris menyarankan kepada Kejagung untuk sebaiknya membentuk tim pra-penyidikan dengan Komnas HAM, untuk mencocokkan apa yang sudah diinvestigasikan oleh Komnas HAM tersebut.

"Kalau alasan barang bukti tidak ada, sepertinya tidak juga. Karena para korban juga masih ada ratusan ribu di seluruh pelosok negeri," ucapnya.

Atas sikap ini, Haris pun menuding lagi-lagi pemerintah masih menganggap Komnas HAM sebagai institusi yang fair, dengan justru malah memandang sebelah mata atas segala rekomendasi penegakan HAM yang telah dikeluarkan oleh Komnas HAM.

Haris justru mencurigai ada persoalan politik di dalam kasus ini, yang membuat Kejagung bukannya mencari penyelesaian, malah justru mencari muka terhadap orang-orang yang diduga terlibat di dalamnya.

"Harusnya Presiden yang ambil alih ini, karena penyelesaian di level hukum tidak cukup, dan harus diambil kebijakan non-judicial-nya. Seluruh dokumen hukum dan pengungkap fakta seharusnya bisa dipelajari pemerintah untuk membuat kebijakan non-judicial itu," sambungnya.

Dengan kondisi seperti ini, Haris menyebut pihak yang dirugikan adalah korban dan keluarganya, yang seharusnya sudah mendapatkan rehabilitasi sejak lama.

"Percuma kita punya UU Anti Diskriminasi, kalau penegakan HAM-nya masih berjalan di tempat seperti ini," tukasnya.