JEBAKAN ORMAS VERSI NEGARA

UU 8/1985 tentang Ormas menuai pro dan kontra sejak disahkan. Memperkuat kooptasi rezim Orde Baru atas aktivitas masyarakat sipil. Kini DPR dan pemerintah menempatkan amandemen UU Ormas sebagai prioritas Program Legislasi Nasional.

Hadir kecemasan meluas manakala tren kekerasan yang dimonopoli organisasi-organisasi kemasyarakatan berbasis agama begitu menguat belakangan ini. Jenis kelompok rentan dan aktivitas yang dijadikan target sasaran pun beragam, mulai dari aktivitas peribadatan jemaat Kristiani, aliran kepercayaan lokal, organisasi keagamaan, hingga pusat-pusat keramaian yang dipandang dengan ukuran minimalis, telah mencederai nilai-nilai keagamaan mayoritas.

Tren ini kemudian juga menunjukkan kombinasi antara model advokasi kekerasan yang digunakan dalam aktivitas beberapa organisasi kemasyarakatan belum secara maksimal direspons oleh negara. Dalam konteks ini adalah aparat Kepolisian Republik Indonesia sebagai bagian dari unsur penegakan hukum. Eksposur kasus kekerasan atas nama beragama, berkeyakinan, dan beribadah yang diberitakan banyak media massa juga menunjukkan belum ada mekanisme efektif yang bisa mencegah atau bahkan menghentikan model kekerasan tersebut.

Kondisi ini kemudian memicu beberapa pandangan yang sepakat untuk memperkuat (kembali) peran negara dalam mengatur organisasi-organisasi kemasyarakatan dalam skup yang besar dan general. Pembubaran organisasi kemasyarakatan bisa menjadi jalan keluar masalah, dan prototipe organisasi dan model advokasi dari gerakan masyarakat sipil akan digeneralisasikan dalam definisi baku, yaitu definisi organisasi kemasyarakatan.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah model organisasi dari gerakan masyarakat sipil tersebut dapat digeneralisasikan satu dengan lainnya? Dapatkah negara mengontrol keberadaan organisasi kemasyarakatan? Jikapun negara memiliki ruang kontrol dan pengawasan, sampai di level mana kebebasan berserikat dan berkumpul dapat dijamin oleh negara?

Aturan Berserikat dan Berkumpul

Pro dan kontra atas aturan berserikat dan berkumpul dimulai sejak Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Konteks pengesahan di masa itu adalah untuk memperkuat lapis kooptasi atas aktivitas dan dinamika masyarakat sipil di bawah kontrol Orde Baru. Kepentingan rezim negara untuk memantau perkembangan ideologi dan kehidupan sosial politik amat bermanfaat dalam menggalang kekuasaan rezim yang berkuasa.

Regulasi ini juga memudahkan negara untuk mengkategorisasikan kelompok-kelompok masyarakat yang potensial mengancam keamanan nasional, karena tidak mengusung ideologi tunggal Pancasila yang paling absah di mata penguasa. Selanjutnya, undang-undang ini juga memuat aturan tentang ancaman pembekuan dan pembubaran dengan pendekatan represif, tanpa didahului dengan proses peradilan yang adil dan transparan (fair trial).

Sebagai informasi, UU 8/1985 tentang Ormas statusnya masih diterapkan di Indonesia. Namun dari sisi implementasi undang-undang ini sudah amat jarang digunakan. Perkembangannya bergulir lebih politis ketika DPR dan pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri menempatkan amandemen UU 8/1985 sebagai prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2005-2009. Prioritas ini kemudian dilanjutkan pada Prolegnas 2010-2014.

Pada amandemen UU Ormas, perubahan signifikan yang banyak diatur adalah terkait dengan definisi ormas. Semua organisasi nirlaba akan dikategorisasikan sebagai ormas. Mulai dari aktivitas seni-budaya, olahraga, profesi, keagamaan, hobi, pendidikan, lembaga swadaya masyarakat kepemudaan, dan sebagainya akan didefinisikan sebagai ormas (Pasal 7 ayat 2 RUU Ormas). RUU ini juga banyak mendetailkan aturan organisasi, mulai dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART), keuangan, dan sanksi pembekuan yang tidak jauh represif dari UU 8/1985.

Jika diperhatikan, desakan pengesahan revisi RUU Ormas semakin menguat tidak hanya pada isu maraknya organisasi-organisasi sipil yang menggunakan metode kekerasan dalam advokasinya, tetapi juga pada menguatnya sentimen Negara Kesatuan Republik Indonesia atas bantuan-bantuan asing yang diterima dan dikelola oleh banyak organisasi masyarakat sipil yang bergerak pada isu kebebasan sipil, politik, maupun ekonomi, sosial dan budaya.
Jika sentimen ini tetap dipelihara, kemungkinan besar organisasi masyarakat sipil yang bekerja dengan menggunakan bantuan pendanaan asing akan diusir, karena mampu mengancam keamanan nasional.

Menariknya, kecenderungan menguatnya sentimen nasionalisme dalam konteks berserikat dan berkumpul juga terjadi di negara lain, seperti yang muncul di Malaysia dan Rusia. Di Malaysia, sebuah organisasi masyarakat sipil yang bergerak pada isu hak asasi manusia dan demokrasi, SUARAM, diselidiki oleh otoritas Pemerintah Malaysia karena diduga kuat menerima pendanaan rutin asing (2012). Sedangkan di Rusia, United States Agency for International Development (USAID) terpaksa menutup seluruh kantornya, akibat tuduhan campur tangan politik lembaga donor tersebut dalam aktivitas sosial politik di Rusia (2012).
Pembatasan dan Jaminan Berserikat

Terkait pembatasan yang bisa diatur oleh negara, sebenarnya bisa merujuk pada sejumlah ketentuan instrumen-instrumen HAM pokok internasional, di mana Indonesia juga banyak mengadopsi isi ketentuan-ketentuan tersebut dalam produk perundang-undangannya. Pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik diterangkan bahwa praktik pembatasan kategori hak asasi manusia harus diterapkan secara situasional dan bersyarat. Terutama pada kategori hak asasi yang dapat dibatasi dengan ukuran kedaruratan tertentu (derogable rights), di mana kategori hak berserikat, berkumpul, dan termasuk di dalamnya hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, dapat juga dibatasi.

Syarat dan situasional yang dimaksud harus memenuhi ketentuan-ketentuan berikut ini. Pertama, gangguan keamanan skala besar. Kedua, gangguan keamanan terkait dengan ketertiban umum (public order). Ketiga, adanya gangguan kesehatan dan/atau keselamatan masyarakat (termasuk di dalamnya bencana alam) yang harus direspons serius. Ukuran ini juga tidak boleh mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa agama, atau asal-usul sosial (Pasal 4 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik).

Selanjutnya, prasyarat ukuran situasional lainnya juga bisa dilihat dari penerapan Prinsip-prinsip Siracusa (Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights). Dalam prinsip ini dijelaskan tentang ukuran kedaruratan muncul mengancam pada isu tatanan masyarakat (public order), kesehatan masyarakat (public health), moral public (public morals), keamanan nasional (national security), dan keselamatan publik (public safety). Selain larangan pada isu diskriminasi, prinsip ini juga tidak membenarkan negara melakukan dan/atau membiarkan berbagai upaya propaganda perang, tindakan mengadvokasi atau menyulut kebencian rasial dan agama.

Operasional pembatasan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan politik ataupun Prinsip-prinsip Siracusa harus diturunkan dalam produk perundang-undangan dan/atau hukum domestik.

Pilihan menolak jebakan pendefinisian negara terhadap ormas dan memberikan tawaran solusi konstruktif masyarakat sipil untuk mendorong rencana aturan-aturan legislasi lainnya yang jauh lebih transparan dan akuntabel, seperti pengesahan RUU Perkumpulan dan RUU Yayasan yang juga tengah didorong oleh masyarakat sipil dalam Koalisi untuk Kebebasan Berserikat (KKB), menjadi strategis dan mutlak didorong bersama.

Selain itu, pembatasan aktivitas berserikat dan berkumpul untuk model organisasi yang menerapkan kekerasan dalam advokasinya juga bisa dicegah dengan memperkuat fungsi penegakan hukum. Fungsi tersebut harus pula diikuti dengan jaminan perlindungan dan penghormatan atas hak berserikat dan berkumpul sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945. Penegakan hukum dalam konteks ini akan efektif apabila profesionalisme kepolisian juga ditingkatkan dan diimbangi dengan bekerjanya fungsi mekanisme-mekanisme perlindungan hak asasi manusia lainnya.

Mendefinisikan aktivitas masyarakat sipil dalam lingkup yang sempit dan memberikan aturan ketat di dalamnya amat bertentangan dengan konstitusi Negara Republik Indonesia. Memodifikasi UU 8/1985 tidak akan memberikan solusi apa-apa, selain memperumit aturan birokrasi. Pilihan politik ini juga potensial memberikan kelonggaran bagi masuknya unsur sektor keamanan untuk membatasi dan membubarkan organisasi-organisasi sipil, tentu saja dengan pendekatan keamanan.

Harapan masyarakat sipil pada model partisipasi publik yang lebih luas, mengedepankan prinsip-prinsip akuntabilitas dan hak asasi manusia, adalah semangat ideal yang harus diwujudkan bersama dengan negara. Semoga.

Puri Kencana Putri, peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)