Menko Polhukam Lukai Hati Korban Pelanggaran HAM

DEPOK, KOMPAS.com â?? Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nurcholis menyatakan, sikap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto yang secara tidak langsung menolak permintaan maaf pemerintah pada korban pelanggaran HAM berat 1965-1966 telah mencederai hati korban dan kemanusiaan.

Pernyataan Djoko tersebut membuktikan bahwa pemerintah masih reaksioner memandang korban tragedi kemanusiaan 1965-1966. "Rekan pemerintah harus memahami posisi korban (pelanggaran HAM berat 1965-1966). Menurut saya, pernyataan (Djoko) itu tidak produktif sebab makna rekonsiliasi untuk korban lebih besar lagi, bukan hanya sekadar minta maaf lalu urusannya selesai," ujar Nurcholis dalam diskusi tragedi kemanusiaan 1965-1966 di Universitas Indonesia, Depok, Senin (1/10/2012) malam.

Nurcholis menilai, perwakilan pemerintah seperti Menko Polhukam sepatutnya harus menjelaskan alasan pernyataannya secara komprehensif dan didukung oleh data sejarah yang tidak sepihak.

Dia menilai, dalam masa reformasi seperti sekarang, sejarah sepatutnya dikritisi oleh banyak pihak, termasuk sejarah mengenai peristiwa di balik tragedi kemanusiaan 1965-1966 yang menyebabkan terbunuhnya sekitar tiga juta rakyat Indonesia, yang dituduh pengikut maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka meregang nyawa tanpa dilakukan proses hukum terlebih dahulu.

"Permasalahan adanya pelanggaran HAM berat harus diketahui generasi muda agar kejadian seperti itu tidak muncul lagi di Indonesia," terangnya.

Pernyataan Menko Polhukam Djoko Suyanto tersebut berbanding terbalik dengan rekomendasi Komnas HAM sesuai Pasal 47 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal tersebut menyatakan, hasil penyelidikan Komnas HAM mengenai kasus tragedi kemanusiaan 1965-1966 dapat juga diselesaikan melalui mekanisme non-yudisial demi terpenuhinya rasa keadilan bagi korban dan keluarganya.

Mekanisme tersebut, salah satunya, dapat berbentuk permintaan maaf Presiden kepada korban pelanggaran HAM berat 1965, di samping rehabilitasi, rekonsiliasi, dan kompensasi.

Sebelumnya, Menko Polhukam Djoko Suyanto meminta agar semua pihak melihat sejarah peristiwa 1965 dengan pandangan yang sangat luas bahwa ada pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI). "Kita mesti melihat dengan kacamata tahun 1965. Ada apa? Pemberontakan PKI. Jangan sekadar (tuntut pemerintah) minta maaf saja tanpa melihat kejadian yang sebenarnya di balik peristiwa 1965 itu," kata Djoko di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (1/10/2012).

Djoko mengatakan, banyak aspek yang harus dilihat dan dipertimbangkan jika pemerintah ingin menyampaikan permintaan maaf. Pemerintah masih meneliti perihal adanya korban dalam peristiwa itu.

Adapun terkait kesimpulan Komnas HAM terkait peristiwa 1965, Djoko enggan mengomentari. Ketika ditanya perihal film The Act of Killing yang berisi pengakuan seorang algojo PKI, Anwar Congo, Djoko menjawab, "Saya belum lihat filmnya. Kalau saya belum lihat, bagaimana saya bisa berkomentar?