Pancasila Belum Sakti Untuk Korban Kasus 1965

JAKARTA, KOMPAS.com – Peringatan Pancasila Sakti yang jatuh pada Senin (1/10/2012) ini dinilai belum memberikan dampak positif bagi korban pelanggaran HAM berat 1965. Sebab, korban pelanggaran HAM berat tersebut masih mendapatkan diskriminasi baik secara konstitusi maupun hidup sosial bermamsyarakat.

"Sampai sekarang korban pelanggaran HAM berat peristiwa 1965 belum mendapatkan rehabilitasi. Bahkan masih ada sekitar 30 peraturan pemerintah maupun undang-undang yang mendiskriminasi korban 65 dalam berbagai aspek kehidupan sosial," ujar Kadiv Pemantauan Impunitas Kontras Yati Andriyani di kantor Kontras, Jakarta, Senin.

Yati berpendapat, pelurusan sejarah harus segera dilakukan oleh pemerintah. Pasalnya, sampai kini korban 1965 mendapatkan diskriminasi. Para korban 1965 tersebut mendapatkan stigma tahanan politik Partai Komunis Indonesia (Tapol PKI). Padahal, belum ada pembuktian yang nyata lewat jalur hukum bahwa mereka sepenuhnya mendalangi peristiwa G-30S yang berakibat pada pembunuhan terhadap pahlawan revolusi.

"Pancasila tidak dapat berlaku secara sepihak. Pancasila harus berfungsi untuk melindungi hak minoritas dan menjunjung pluralisme. Pancasila Sakti tidak dapat dilihat dari segi pembunuhan jenderal saja, namun juga harus dipandang dari segi peristiwa setelahnya, pelanggaran HAM berat atas korban 65," terangnya.

Ia menilai, pemerintah harus segera menyelesaikan kasus 1965. Hal itu mengingat para korban pelanggaran HAM berat 1965 telah banyak yang berusia senja. Selain itu, banyak keluarga korban yang masih mengalami kekerasan secara psikis dan fisik akibat stigma PKI.

Sementara itu, Direktur Operasional Imparsial Bhatara Ibnu Reza berpendapat, kasus 1965 harus dilihat dari segi korban. Pengadilan ad hoc sebagai hasil rekomendasi Komnas HAM harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Hal itu berperan sebagai bentuk pelurusan hak korban 1965 yang dirampas oleh rezim militer orde baru.

Selain pengadilan ad hoc, pemerintah harus mengupayakan rehabilitasi, rekonsiliasi, pembersihan nama baik korban, dan permintaan maaf secara resmi pimpinan negara terhadap korban. "Kalau korban 65 tidak mendapatkan keadilannya, berarti pemerintah terang-terangan melanggar undang-undang dan konstitusi yang mereka buat sendiri," tegasnya.