Presiden SBY Diminta Tuntaskan Tragedi 1965

TEMPO.CO , Jakarta:Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta turun tangan dalam menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat pada kurun waktu 1965-1966. "Idealnya Presiden yang mengambil alih ini," kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, saat dihubungi Tempo, Senin, 1 Oktober 2012.

Selain mendorong proses hukum, menurut Haris, Presiden SBY bisa sedikit kreatif dengan membuat kebijakan non-judicial. "Seluruh dokumen hukum dan pengungkap fakta seharusnya bisa dipelajari pemerintah untuk membuat kebijakan non-judicial agar menghapus diskriminasi ke para korban," ujarnya.

Sejauh ini, Kejaksaan Agung tak memiliki batas waktu untuk meneliti laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang pelanggaran HAM berat pada 1965-1966. "Tugas kami hanya meneliti. Kalau bukti kurang, ya, kami kembalikan ke Komnas HAM. Tapi, kalau semua sudah cukup, ya, kami tingkatkan ke penyidikan," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Andhi Nirwanto, Jumat pekan lalu.

Kejaksaan masih intensif meneliti laporan tersebut. Menurut Andhi, tugas Kejaksaan Agung kali ini sangatlah berat. Pasalnya, kasus ini sudah terjadi puluhan tahun silam. "Berkasnya saja ada dua kardus besar. Jadi, memang makan waktu," ujar dia.

Kejaksaan telah membentuk tim jaksa peneliti untuk mengevaluasi laporan pelanggaran HAM peristiwa pembantaian simpatisan Partai Komunis Indonesia pada 1965-1966. Tim tersebut dipimpin langsung oleh JAM Pidsus Andhi Nirwanto dan Direktur Penyidikan Pidsus, Arnold Angkouw, sebagai wakil ketua tim.

Komnas menyatakan peristiwa brutal yang diduga menewaskan lebih dari 500 ribu anggota dan simpatisan PKI itu merupakan pelanggaran HAM berat. "Setelah melakukan penyelidikan selama 4 tahun, berdasarkan bukti dan hasil pemeriksaan saksi, terjadi sembilan kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Ketua Tim Investigasi Pelanggaran Kemanusiaan 1965-1966, Nur Kholis.