Pernyataan Menkopolhukam, Mengingkari Fakta Masa Lalu

Pernyataan Menkopolhukam, Mengingkari Fakta Masa Lalu

Pada 2 Oktober 2012, Menko Polhukam, Djoko Suyanto, menyatakan kepada media bahwa “banyak aspek yang harus dilihat dan dipertimbangkan jika pemerintah ingin menyampaikan permintaan maaf”. Selain itu, Menkopolhukam membenarkan tindakan pelanggaran HAM berat yang terjadi  dalam peristiwa 1965/1966 dengan mengatakan "Kalau peristiwa itu tak terjadi, negara kita tidak akan seperti sekarang ini" “This country would not be what it is today if it didn’t happen”(lihat lampiran media).

Terhadap pernyataan tersebut, kami memandang telah terjadi kekeliruan cara pandang Menko Polhukam dalam persoalan ini.

Pertama
, pernyataan tersebut mengabaikan fakta bahwa telah terjadi tindakan kekerasan/represi yang dilakukan oleh negara dan warga sipil yang didukung oleh negara. Dengan kata lain ada keterlibatan negara secara langsung maupun tidak langsung. Represi Negara ini telah mengakibatkan “jutaan” orang menjadi korban pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, pengusiran, pemerkorsaan, pengasingan, dipenjara tanpa proses hukum dan perbudakan. Mereka kehilangan keluarga, harta benda, pekerjaan dan martabat. Mereka yang menjadi korban bukan semata anggota PKI tapi banyak dari mereka adalah warga biasa.

Benar bahwa persoalan 1965/1966 harus dilihat secara komprehensif, akan tetapi bukan dengan menutup upaya mencari solusinya. Bahkan dengan mengatakan bahwa tindakan negara saat itu merupakan tindakan yang tepat sebagai penyelematan negara dari pemberontakan PKI di masa peristiwa terjadi. Hal ini justru memberikan legitimasi bahwa pembunuhan massal dan tindakan tidak manusiawi lainnya dapat dibenarkan. Dalam hal ini, Pertanyaannya kemudian jikapun benar gangguan keamanan terjadi;  apakah tindakan keji di luar proses hukum terhadap jutaan masyarakat sipil yang tidak bersenjata dan tidak melawan itu dapat dibenarkan?

Menempatkan persoalan peristiwa 1965/1966 secara komprehensif, bukan berarti menutup mata ada warisan persoalan masa lalu yang harus diselesaikan. Keberimbangan baru dapat dilakukan, jika pemerintah dan semua pihak mau membuka diri dan duduk bersama secara setara dan bermartabat mencari penyelesaian. Hal ini justru tidak dilakukan pemerintah, belum lagi upaya-upaya kebenaran dilakukan, Menko Polhukam terkesan menutup ruang penyelesaian dengan khas arogansi Negara melalui pernyataan yang tendesius dan sikap yang defensive.

Kedua, dari Aspek hukum dan tata negara, pernyataan Menko Polhukam telah mengabaikan hasil penyelidikan pro justisia Komnas HAM yang menyatakan adanya kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa 1965/1966. Pernyataan tersebut merupakan bukti pelemahan dan penolakan hasil kerja institusi Komnas HAM sebagai lembaga Negara yang bekerja secara independen dan dilindungi Undang †Undang.  Dalam hal ini, Menko Polhukam melampaui kewenangannya, karena lembaga yang dapat menentukan adanya tidaknya sebuah pelanggaran HAM adalah Komnas HAM,Kejaksaan Agung dan Pengadilan (UU No 26 Tahun 2000). Dalam persoalan ini, Kemenko Polhukam sebaiknya melakukan koordinasi dengan Presiden dan lembaga/institusi Negara terkait mengenai penyelesaian non judicial, seperti pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi dan rehabilitasi, bukan justru menjadi juru bicara pelaku kekerasan (militer).

Berdasarkan pada pendapat kami diatas, kami mendesak:

  • Menko Polhukam memberikan klarifikasi mengenai pernyataannya. Dengan menjelaskan:
  • Mengapa jutaan masyarakat sipil yang tidak bersenjata dan tidak melawan dieksekusi tanpa proses hukum?
  • Apa dan dimana kesalahan korban yang tidak mengetahui bahkan tidak mengerti sama sekali dengan gangguan keamanan (pemberontakan) yang dimaksud Menko Polhukam?
  • Menko Polhukam harus bersikap netral dalam menyikapi harapan penyelesaian peristiwa 1965, sikap ini ditujukan dengan menghormati hasil penyelidikan Komnas HAM, tidak berbicara untuk kepentingan otoritas pelaku atau institusi kekerasan di masa lalu.
  • Menko Polhukam menggunakan kewenangannya secara proporsional, diantaranya melakukan kordinasi dengan Presiden dan lembaga/institusi Negara untuk mengupayakan pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi dan rehabilitasi secara bermartabat.

Jakarta, 5 Oktober 2012
Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru (LPR KROB)
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Asian Justice and Justice and Rights (AJAR)
KoalisiKeadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK)
Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI)
Migrant Care
Hendardi (Setara Institute)
Franz Magnis Suseno

Pernyataan Menkopolhukam Mengingkari Fakta Masa Lalu

30 September 1965 adalah sejarah kelam bangsa Indonesia, sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat kejam, pembantaian terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Setelah orde baru yang teramat berkuasa itu tumbang, debat kontroversial tentang siapa di belakang peristiwa G-30-S berlangsung bebas. Dan tampak kecenderungan dari mereka yang semula seratus pesen percaya PKI merupakan dalang sesungguhnya gerakan itu mulai mengendur. Seballiknya, suara lantang tidak percaya pada keterlibatan PKI semakin nyaring. Dunia memang sudah berubah, semenjak angin reformasi bertiup di negeri ini. PKI kini tidak lagi dianggap sebagi monster; ia cukup dianggap sebagai ideologi yang dibicarakan biasa-biasa saja kini.

Kontras (komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mempersembahkan pameran peristiwa’65 (5/10) bertempat di galeri Munir kediaman KontraS, menteng Jakarta pusat. Pameran ini bukan semata-mata untuk aksi seremonial belaka dalam menyikapi peristiwa 30 september tersebut, melainkan untuk mengulang kembali ingatan masyarakat akan kekejaman rezim masa itu.

Pameran ini bisa terlaksana berkat kerjasama KONTRAS dengan FRIEDRICH EBERT STIFTUNG (FES) dan TEMPO INSTITUTE. Berbagai macam materi pameran ada disini seperti, banner berukuran besar yang ditempelkan disetiap dinding galeri Munir, mencoba memvisualisasikan sejarah dan kondisi politik dekade 1959-1969, KTP (Kartu Tanda Penduduk) berukuran besar, yang mana pengunjung bisa merasakan langsung bagaimana menjadi seorang Eks Tapol, seperti pas foto KTP, dibagian sudut ruangan terdapat radio jadul (red:jaman dulu) yang mengajak para pengunjung hidup dalam dekade tersebut, berisikan lagu-lagu pujaan kepada soekarno oleh Lilis Suryani dan suara pidato-pidato Soekarno, terdapat pula peta kuburan masal, para pengunjung dapat dengan sendiri mengakses-nya disebuah monitor besar yang terhubung dengan internet.

Harapan dan tujuan dalam mempersembahkan pameran ini adalah bisa terus memberi kontribusi dalam membangun pemahaman tentang panggung sejarah Indonesia, di era dan zaman yang menentukan tesebut; 1959-1969, juga sebagai medium kampanye "Menolak Lupa" terhadap pelanggaran HAM masa lalu.

Pameran ini dibuka dengan siaran pers-yang merespon pernyataan Menkopolhukam, Djoko Suyanto, menyatakan kepada media bahwa "banyak aspek yang harus dilihat dan dipertimbangkan jika pemerintah ingin menyampaikan permintaan maaf". Selain itu, Menkopolhukam membenarkan tindakan pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam peristiwa 1965/1966 dengan mengatakan "Kalau peristiwa itu tak terjadi, negara kita tidak akan seperti sekarang ini" "This country would not be what it is today if it didn’t happen" dihadiri oleh berbagai macam elemen masyarakat dan organisasi seperti; Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru (LPR KROB), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Lembaga Studi dan, Advokasi Masyarakat (ELSAM), Asian Justice and Justice and Rights (AJAR), Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), Migrant Care, Hendardi (Setara Institute), Franz Magnis Suseno.

Tokoh pluralisme Indonesia, Franz Magnis Suseno, menyayangkan pernyataan Menkopolhukam Djoko Suyanto terkait Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) PKI, bagi Franz, pernyataan Djoko terlalu dangkal dan tidak melihat peristiwa tersebut secara komprehensif seperti dikutip jaringannews.com
Siaran pers tersebut menghasilkan bebeapa tuntutan antara lain:

· Menko Polhukam memberikan klarifikasi mengenai pernyataannya. Dengan menjelaskan:
· Mengapa jutaan masyarakat sipil yang tidak bersenjata dan tidak melawan dieksekusi tanpa proses hukum?
· Apa dan dimana kesalahan korban yang tidak mengetahui bahkan tidak mengerti sama sekali dengan gangguan keamanan (pemberontakan) yang dimaksud Menko Polhukam?
· Menko Polhukam harus bersikap netral dalam menyikapi harapan penyelesaian peristiwa 1965, sikap ini ditujukan dengan menghormati hasil penyelidikan Komnas HAM, tidak berbicara untuk kepentingan otoritas pelaku atau institusi kekerasan di masa lalu.
· Menko Polhukam menggunakan kewenangannya secara proporsional, diantaranya melakukan kordinasi dengan Presiden dan lembaga/institusi Negara untuk mengupayakan pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi dan rehabilitasi secara bermartabat.