Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM yang Tidak Direspon Polisi Mendukung KPK

Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM yang Tidak Direspon Polisi Mendukung KPK

Sepanjang 1 tahun -terhitung sejak Juli 2011 hingga September 2012- KontraS menerima banyak pengaduan dari masyarakat, khususnya komunitas minoritas keagamaan, etnis, pedagang, petani, buruh, pekerja, mahasiwa, pengusaha, bahkan pengaduan individual- atas praktik pengabaian kasus dan kekerasan yang potensial menimbulkan pelanggaran HAM dari aparat polisi di beberapa daerah di Indonesia.

Setidaknya 40 kasus yang KontraS dampingi menunjukkan suatu kecenderungan beberapa hal, baik dari segi pengabaian kasus maupun ketidakmampuan polisi dalam mencegah dan mengusut kasus-kasus kekerasan yang terjadi. Hal ini juga diikuti dengan beberapa model tindakan pelanggaran HAM yang kerap terjadi dari tahun ke tahun.

Pertama, praktik kriminalisasi dan rekayasa kasus, khususnya kepada kelompok petani, buruh/pekerja, individual, dan kelompok minoritas keagamaan. Sebagaimana yang terjadi dalam contoh kasus Tiaka Morowali (2011), penggusuran Pasar Raya Padang (2011), Jemaat Gereja Baptis Papua (2011), Kongres Rakyat Papua III (2011), Ustadz Tajul Muluk kelompok Syiah Sampang (2012), Serikat Pekerja Indonesia (2012) (lihat lampiran).

Tren ini juga mengarah pada sejumlah kasus kriminalisasi dan rekayasa kasus individual, seperti pada kasus Koh Seng Seng (Jakarta, 2012), Aguswandi Tanjung (Jakarta, 2012), Enny Umbas (Sulut, 2012), Paulus Demon Kotan (NTT, 2012) Kriminalisasi ini biasanya juga diikuti dengan sejumlah praktik pelanggaran HAM seperti penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, intimidasi penembakan hingga menimbulkan korban jiwa (lihat Kasus Tiaka Morowali).

Kedua, kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian menyasar pada sejumlah aksi yang diselenggarakan secara damai. Hal ini bisa dilihat dari kasus pelabuhan Sape Bima (2011), Tiaka Morowali (2011), demonstrasi damai Buruh Freeport (2011), Kongres Rakyat Papua III (2011) yang amat mencolok dan mendapat perhatian publik luas. Pada tren ini sejumlah praktik pelanggaran HAM yang dominan terjadi seperti penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan dan penembakan diikuti pembunuhan kilat yang dilakukan aparat kepolisian dominan terjadi. 

Ketiga, menguatnya praktik pengabaian polisi atas jaminan perlindungan hak-hak sipil politik warga Indonesia. Bisa dilihat dari contoh kasus pembubaran beberapa lokasi acara penyerangan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di sejumlah wilayah (Cikeusik, Pandeglang, Tasikmalaya, Sukabumi antara tahun 2011-2012), Jemaat HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin (2011-2012), pemutaran Q Film Festival (2011), kekerasan geng motor (2012), pembubaran diskusi Irsyad Manji (2012), penyerangan kelompok Syiah Sampang (2012), dan yang terbaru adalah pembiaran ancaman kekerasan terhadap aktivis KontraS Papua Olga Hamadi SH (Oktober 2012). Pada tren ini biasanya aparat polisi tidak mampu merespons aksi kekerasan yang dilakukan oleh organisasi keagamaan yang menggunakan kekerasan sebagai advokasinya. Ataupun ancaman yang dialami akibat ketidakmauan korban (Olga Hamadi, ed) untuk pra peradilan pada kasus pembunuhan terhadap Martin Kurisi (13 Agustus 2012).

Keempat, keterlibatan sejumlah aparat kepolisian dalam kasus-kasus bisnis yang berakhir pada kekerasan yang dialami oleh kelompok warga. Bisa dilihat dalam contoh kasus Mesuji (2011), Sape-Bima (2011), Petani Rokan Hulu (2012), petani Ogan Hilir (2012), petani Labuhan Batu (2012), petani di Kecamatan Tapung Hulu Kabupaten Kampar yang tanahnya dirampas PT RAKA. Praktik dominan muncul adalah pembubaran aksi, penangkapan sewenang-wenang, diikuti dengan penembakan yang menimbulkan korban jiwa.

Menariknya, temuan KontraS atas keempat tren tersebut menunjukkan bahwa polisi kerap menggunakan instrumen dan kewenangan kekerasannya untuk membatasi hak-hak sipil politik warga. Praktik kekerasan yang timbul juga tidak diikuti dengan upaya penegakan hukum maupun pemulihan hak-hak korban. Pengabaian atas banyaknya kasus kekerasan, kriminalisasi, dan rekayasa kasus juga potensial menyulut ekspresi kemarahan warga atas ketidakadilan yang mereka alami, sehingga aparat polisi kembali menggunakan instrumen dan kewenangan kekerasannya secara serampangan untuk meredam gejolak sosial yang ada.

Adanya Siklus kekerasan dan pengabaian penegakan hukum ini menunjukkan agenda Reformasi Birokrasi dan Penegakan Hukum di tubuh Polri tidak dijalankan secara maksimal. Sejumlah peraturan internal -baik Perkap dan Standard Operational Procedures- juga tidak dipatuhi oleh aparat polisi di lapangan. Evaluasi dan masukan yang terus dilakukan masyarakat sipil tidak pernah ditindaklanjuti dengan baik sehingga mekanisme pengaduan masyarakat melalui Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) tidak berjalan maksimal.  

Preseden rencana polisi untuk menangkap salahsatu penyidik KPK Komisaris Polisi Novel Baswedan pada Kamis, 5 Oktober 2012-dengan tuduhan penganiayaan yang mengakibatkan kematian tersangka pencurian sarang burung walet di Bengkulu 2004- tidak menunjukkan suatu itikad baik Polri untuk menegakkan hukum secara adil dan transparan pada kasus-kasus lain yang serupa.

Politisasi kasus yang dialami Novel Baswedan seharusnya tidak terjadi jika Polri menindaklanjuti kasus-kasus serupa- baik kriminalisasi, rekayasa kasus, kekerasan, bisnis polisi, dan pengabaian-. Sidang etik juga harus digelar segera untuk menindak aparat-aparat polisi yang selama ini kerap melakukan tindakan kekerasan maupun pengabaian yang masih dan sering terjadi.

Jakarta, 7 Oktober 2012

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
bersama para korban rekayasa kasus, kriminalisasi, kasus-kasus tindak kekerasan polisi.